HALU

Bagikan

Halu, – Khayal, imajinasi, mimpi, angan, ilusi. Siapa yang tak pernah melewatkannya. Rasanya ia ingin selalu bermain, menari ditengah sistem yang terus bekerja ini. Melepas penat yang tak kunjung meng-enyah­ dari kehidupan ini. Terkadang, inilah yang membuat diri merasa sangat miris, karena hanya dapat berangan yang semu.

Sekali lagi ku bertanya dalam benakku, Siapa yang tahu  ini takkan terjadi? Siapa yang akan menjamin bahwa angan selamanya hanya cuplikan gambar tak berarti?. Lalu, bagaimana jika suatu khayal bisa menjadi realita di masa depan? Jika perkataan saja merupakan do’a, maka halu pun mungkin bisa menjadi setengah dari do’a.

Hari itu, – 7 tahun silam. Saat dirinya tuk pertamakali menginjakkan kaki diluar tanah kelahirannya,  – luar kota. Guna melanjutkan jenjang pendidikannya ketahap selanjutnya, SMP. Tuk yang pertama pula hatinya berdegup cukup kencang melebihi ritme biasanya, pasalnya ini bukan sekedar sekolah biasa, ini adalah pesantren. Yang terkenal sebagai penjara suci. Menyimpan kenangan manis semasa kecil melangkah lebih jauh tuk mencari ridho-Nya.

Tidak! Ini bukan romansa-fiktif yang sering terangkai dalam novel-novel karya novelis ternama luar atau dalam negeri yang sudah diakui semua orang akan kualitasnya. Ini hanyalah sebuah cerita yang menggambarkan dirinya – seorang muslimah biasa yang memiliki berjuta cerita tak tertuangkan nyata. Sosok periang, cerewet, supel.

Naveera Yasya. Lahir pada 08 Agustus 1999 di Surakarta. Penggalan kisah ini dimulai ketika ia harus menerima tugas wawancara dari salah satu organisasi di Pondok Pesantren setelah 3 tahun melalui pahit manis hidup berjauhan dengan sanak famili.

“Terimakasih, kak. Kakak sudi kiranya menyempatkan waktu kakak untuk berbagi ilmunya kepada saya sebagai narasumber saya,” ulasnya dengan sesimpul senyuman terukir tulus dari bibirnya. Sedang sosok kakak yang disebutnya itu tak kalah indahnya kala menyunggingkan senyum khas yang ramah. Kakak kelas yang dapat menjadi teladan baik bagi seantero pondok karena akhlak yang terus ditujukan kepada Sang Kuasa.

Langkah itu kini dipercepat mengingat waktu istirahat akan berakhir dan kelas berikutnya akan segera dimulai. Alhamdulillah, ucapnya dalam hati lalu langsung mengambil posisi duduk disebelah sobat karibnya dengan memaparkan jelas  sumringah di wajahnya.

“Sholehah, cantik, baik, pintar, oh ia juga seorang yang tegas. Sungguh, merupakan sosok yang didambakan banyak orang. Jika ia mempunyai adik, akankah sifat yang dimiliki kakaknya juga menurun kepadanya? Ah, terlebih jika adiknya laki-laki, beruntungnya jika adiknya tak terpaut usia yang begitu jauh denganku”

“Veera!” panggil seseorang yang menyadarkannya dari ritual halu-nya.

“Hm? Pulang, yuk!” ajaknya antusias. Sahabatnya itu hanya bisa mengangguk heran, tak salah lagi dugaannya kalau sahabatnya itu sedang sibuk dengan dunia imajinasinya.

***

Liburan kembali hadir menyapa setelah menautkan hidup pada pendidikan pesantren kurang lebih 6 tahun lamanya. Saatnya berhadapan pada dunia yang kian meluas. Pikiran yang kian membebas terbang diatas juntaian alam membentang. Veera – sapaan hangatnya. Ia pun bangkit dari posisi nyamannya setelah menatap ponsel pada genggaman tangannya, beranjak untuk meminta izin kepada kedua orangtuanya bahwasannya ia ingin pergi berkumpul dengan teman-teman pondoknya dahulu, sekedar buka bersama atau membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan acara pondok kedepannya – karena ia masih melanjutkan studinya di pondok tercinta sekaligus mengabdi disana.

“Veera, gak lupa, kan?” tanya sang bunda sebelum keberangkatannya.

“Gak, dong. Nih..” tunjuknya ke tas ransel yang ia bawa. Dibalas acungan jempol oleh sang bunda. Udah hobinya, insyaallah gak lupa, pikirnya.

***

“Rah, kayak biasa, ya?” ujarnya diikuti lirikan matanya pada makanan yang berjejer didepannya.

“Gampang lah..” Sahut si empunya rumah kepada teman seperjuangannya itu.

Ketika semua berkumpul dan saling melempar pertanyaan, Veera menangkap sosok yang tak asing baginya. Seperti ia sudah mengenal sosok itu dari lama. Seperti…. temannya.

“ah, tidak mungkin. Aku memang pernah tinggal dan sekolah dekat situ, tapi… rasanya sangat mustahil.” Pikirnya dalam hati setelah tahu asal-muasal laki-laki yang tak asing itu.

“Eh, kalian semua udah pada punya kendaraan buat pulang, kan?” Si ketua acara pun angkat bicara, membuat Veera sejenak menghentikan kesibukkan pikirannya.  Veera pun hanya menanggapinya dengan cengiran khasnya, yang menandakan bahwa ia tak membawa kendaraan untuk pulang.

Si ketua yang sudah hafal dengan gerak-geriknya pun bertanya, “Veera, kamu rumahnya daerah mana sih?”. “surabaya barat.” Jawabnya masih dengan cengiran-nya.

“Di, kamu rumahnya searah dengan Veera, kan?” Tanyanya pada Aldi.

“Ya, ya udah kamu bareng sama aldi aja ya nanti,” ia mengalihkan pembicaraannya kepada Veera. Yang dijawab anggukan dari Veera, mengingat rumahnya yang jauh dan kondisi yang tak memungkinkan untuk mencari ojek atau sebagainya.

Perlahan semua mulai sepi, satu persatu pulang. Veera teringat akan kotak yang ia taruh didalam ranselnya. Oleh-oleh, ingatnya.

“Farah, jadi, ya?” ungkapnya.

“yaudah, ambil geh didalem,” santainya. Veera pun memantapkan langkah demi melaksanakan amanat bundanya – eh, canda.

“huft, selesai!” katanya bermonolog, lalu segera keluar dari rumah Farah. Namun, yang ia dapat hanyalah beberapa motor yang siap berangkat. Kemana si Aldi? Terus aku pulangnya gimana? Batinnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat didepannya, membuyarkan lamunannya. Ia sontak terperangah melihat mobil yang berhenti tepat didepannya itu dan memunculkan sosok yang sedari tadi ia ingat melalui jendela mobil yang terbuka.

“kenapa ra, kog kamu terlihat bingung gitu?, pulangnya barenga aku aja gimana?” tanyanya. Dia, … mobil? Tidak, Veera tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran seseorang yang ada didepannya saat ini. Ditakutkan Aldi melupakannya dan pergi begitu saja.

“Tapi, rumah kita, kan gak searah?”

“Aku mau singgah kerumah paman didekat sana.”

“oh,”

Setelah mendapat isyarat untuk masuk, Veera langsung melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam mobil itu. Gugup. Yah, bukan apa-apa, hanya saja, berdua? Didalam mobil? Gimana kalau yang ketiga setan? Terkutuklah, cepat-cepat ia menghilangkan pikiran buruknya. Bertepatan dengan suara dering ponselnya, ia pun mengangkatnya.

“wa’alaikumussalam”

“……….”

“Iya, ini Veera, aku udah di dalem mobilnya si…..”

Ternyata, diseberang ia mendapat telpon, dan ia menanyakan letak keberadaannya karena aldi yang tadi akan mengantarnya pulang tak tau dimana sehingga setelah perkumpulan tadi veera mengira bahwa aldi sudah pulang terlebih dahulu, ternyata ia masih berjalan ke tempatnya memarkir sepeda motor.

Veera Sedikit canggung karena rasa bersalahnya yang langsung pergi tanpa memberi kabar pada aldi terlebih dulu, jika tak jadi menerima niat baiknya,

“Ok baiklah… Maaf ya ra sudah membuatmu menunggu”

“Iya, sampaikan salamku pada aldi, karena aku dia jadi kebingungan”

“ok.. hati-hati ya ra, kabari akau jika kamu sudah sampai, wassalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Veera pun menutup telfonnya

“kenapa veer?, pasti mereka bingung ya mencari keberadaanmu saat ini,”farhan bertanya

“iya han, mereka bingung mencariku, aku jadi merasa bersalah nih”

“sudah tak apa setidaknya tadi kamu sudah menjelaskannya kepada mereka”  Kenapa jadi canggungbegini? Bisiknya dalam hati.. Yah, perihal mereka bukan muhrim, ditambah pikiran Veera yang kemana-mana.

Selama perjalanan beberapa pernyataan dan pertanyaan Farhan membuatnya bisa bernafas lega  dan perlahan gugupnya memudar. Namun, itu tidak berlaku lagi setelah ia berhasil membuat Veera mematung oleh pernyataannya,

“Ya, ikut jejak kakak masuk ke pondok. Ustadzah Annisa Rahma, pasti kamu kenal.”. kenal, banget malah. Siapa yang gak kenal beliau? Tunggu deh, jadi beliau benar-benar punya adik? Dan adiknya…. ia masi terperanjat oleh keterkejutannya, ini sangat… jauh dari ilusinya mengenai adik dari kakak kelasnya itu.

“emang kenapa veer, ada yang salah?” tanyanya, setelah mendengar keterkejutanku.

“ehm.. ngak sih, kaget aja, karena gak nyangka aja kalaw beliau orang yang pernah aku kenal, punya adek yang ternyata satu angkatan denganku, padahal dulu aku kira beliau tak punya adik tapi ternyata dugaanku salah” dengan singkat veera menjelaskan itu pada farhan.

Selama perjalanan tak sedikitpun veera berhenti bertanya dan mengutarakan pertanyaannya hingga perbincangan sore itu pun meraa sangat renyah dan beberapa perbincangan itu mengenai kakaknya, sekolahnya dan beberapa kisah lama saat mereka msih sama-sama di pondok, dan  beberapa saat veera hampir melupakan sesuatu dan ia merasa bahwa jalan yang biasa ia lalui tak sejauh jalanan yang ia tempuh saat ini, setelah menyadari beberapa hal veera pun angat bicara

“han, sepertinya jalanan ini sudah melewati perbatasan rumahku”

“Ia kah” tanyanya dengan nada terkejut

“ok baiklah kita putar di depan ya dan kita kembali ke jalan yang tdi sudah terlewati.” Kata farhan mencoba meyakinkanku

 

“veer” panggilnya, “kamu tau tidak salah satu penyebab terkenalnya tempat itu” farhan bertanya sambil menunjuk ke arah kiri jalan

“ehm.. pernah dengar beberapa cerita dari saudarku”

“oh gitu.”jawab farhan, tak lama kemudian mereka masih asik dalam bertanya hingga suatu ara yang tak veera sadari bahwa laju mobil itu ke arah yang tak sama

“eh, kok malah kesini?” fokusnya teralihkan oleh jalanan yang ia kenal betul, namun bukan mengarah kerumahnya.

“Jalan sebentar, boleh, kan? Sekalian lewat sini, kamu pernah jalan kesini?”

“Belum pernah, sih. Ehm, yaudah.” Pasrahnya.

Mereka menjelajahi area jembatan dekat dengan perumahan,  sesekali mereka  bertukar pengalaman, tempat yang cocok untuk para remaja bebas menikmati masa pacaran yang sudah lazim bagi mereka. Umpatnya seraya menikmati setiap detiknya berlalu dengan argumennya bahwa tidak selamanya hal halu hanya akan menjadi bayang semu. Karena perkataan merupakan do’a, maka mungkin besitan dalam hati bisa menjadi setengahnya. Terbukti bahwa Veera benar-benar mengalami hal yang beberapa waktu lalu ia bayangkan. Benar-benar skenario Ilahi tak pernah terprediksi oleh indera manusia.

Untuk yang terakhir, apapun itu, tidak ada yang mustahil bagi Allah meskipun hanya tersirat dalam hati. Jangan terpaku pada dunia yang fana, tetaplah berjalan, berharap dan pasrah terhadap ketetapan Allah. Karena kita hanyalah hamba-Nya yang lemah.

Dapatkan Promo spesial sekarang

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan