Asiyah, Ra, Ka, dan Ha

Bagikan

Mesir, pasca jatuhnya raja Akhenaten.

Asiyah kecil hidup dalam didikan akademi kerajaan mesir, bersamanya ialah Ra, Pare-amon/Ramses II kemudian Ka, Karonaim/Karun, dan Ha, Ha-amon/Haman. Empat sekawan ini tumbuh dalam didikan guru Apa, seorang guru yang matanya tertutup untuk dunia, tapi wawasannya membuka seluruh alam semesta. Pendidikan akhlak, jiwa-jiwa adat, pengetahuan puisi dan peribahasa, serta kode-kode peradaban mereka enyam semasa di akademi bersama guru Apa.

Nenek moyang Asiyah adalah penganut ajaran nabi Yusuf yang beriman kepada Tuhan Yang Esa, sejak kecil ia tumbuh laksana air dengan keindahan, kedermawanan, dan kerendahan hati. Pun, empat sekawan ini tumbuh menyongsong takdir yang berbeda-beda, singkatnya Asiyah dewasa diangkat menjadi ratu mesir, menikah dengan Ra, dengan kebijaksanaan dan kelembutannya menjadikannya sangat dicintai oleh masyarakat Mesir. Ra pun diangkat menjadi Raja Mesir, fir’aun, dikenal juga sebagai Ramses II. Haman tumbuh dewasa menjadi kepala pendeta, salah satu kepercayaan sang raja, sedangkan Karun yang cerdas menjabat sebagai ahli alkemi kerajaan.

Pernikahan Asiyah dan Ha bukanlah pernikahan yang dilandasi oleh cinta, melainkan hanya adat dan politik kerajaan, maka sukarlah cinta tumbuh di antara pasangan raja dan ratu ini. Hari-hari hanya dihabiskan Pare-amon memikirkan politik, perang, siasat militer, urusan kerajaan yang tiada habisnya. Kesendirian menjadi teman sehari-hari ratu Asiyah, hingga Allah takdirkan ia bertemu bayi Musa yang mengalir hanyut bersama aliran Sungai Nil, Musa telah menjadi pelipur lara, pembawa ceria, anak angkat yang sangat dicintai oleh Ratu Asiyah.

Teguh dalam tauhid bukanlah hal yang mudah, terlebih masyarakat serta bangsawan Mesir di masa Asiyah hidup telah melupakan ajaran Nabi Yusuf untuk menyembah Tuhan yang tunggal. Alih-alih mereka malah mengagungkan dewa-dewa, si masyarakat menghabiskan hidup bersama ritual dan pemujaan-pemujaan jahiliyah. Sedangkan si Bangsawan tenggelam dalam gemerlap harta kerajaan.

Maka kita dapati Haman dengan idenya yang picik mendatangi Fir’aun yang takut akan salah seorang bani Israil akan menjatuhkan kekuasaannya, “Aku mengusulkan untuk mengorbankan bayi laki-laki Apiru kepada para Tuhan, satu tahun kita bunuh, satu tahun berikutnya kita beri izin untuk melahirkan anak laki-laki.”

Maka kita dapati pula Haman, sang pendeta diam-diam telah merencanakan bahwa Fir’aun butuh supremasi yang lebih tinggi lagi, ia harus dinobatkan sebagai Tuhan bangsa Mesir.

Maka kita dapati Fir’aun yang tenggelam dalam haus kekuasaan, murka akan hadirnya ajaran Nabi Musa akan meruntuhkan posisinya sebagai Tuhan, seraya berkata “Wahai pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku, maka bakarlah tanah liat wahai Haman, kemudian buatkanlah bangunan yang tinggi untukku agar aku dapat naik melihat Tuhannya Musa.”

Maka kita dapati pula Karun sang alkemi dengan tujuh puluh dua penyihir yang dikumpulkannya tak berdaya melawan mukjizat Nabi Musa, para penyihir seketika bersujud, terucap kata taubat dan penyesalan “Kami percaya kepada Allah-nya Musa”.

Tetap tegaklah pendirian Sultanah Asiyah mendukung Nabi Musa menegakkan agama Allah dihadapan Fir’aun yang telah jauh dari hidayah sekalipun telah ia lihat dengan matanya sendiri bahwa sihir dan guna-guna tunduk dihadapan mukjizat nabi Musa.

Tegaknya pendirian atas nama tauhid pun harus dibayar dengan hukuman dari sang raja, mahal sekali harganya karena gantinya adalah surga. Terikatlah sultanah Asiyah di tonggak kayu dengan api unggun yang menyala besar…

Sedikit lagi… Allah ingin segera memetik bunga yang harum itu.

“Ini adalah tangan kananku,” ucap Asiyah. “Ini adalah tangan yang selalu ingin kugunakan untuk memegang ibuku yang wajahnya tak aku ingat. Aku serahkan diriku kepadamu, ya Allah..”

“Ini adalah tangan kiriku, aku tidak pernah bisa menulis dengan tangan ini, tapi jika aku bisa menulis dengan tangan ini maka aku akan menulis Allah. Aku serahkan diriku kepadamu, ya Allah..”

“Ini adalah kaki kananku,” ucapnya. “Aku langkahkan setiap langkahku ke arah Musa putraku. Aku serahkan diriku kepadamu, ya Allah..”

“Ini adalah kaki kiriku, aku tak mencintai dunia, aku tak menemukan sebuah rumah yang melindungi diriku. Aku serahkan dunia kepadamu, ya Allah..”

Mereka membakar Sultanah dalam tumpukan kayu yang menjulang tinggi di atas pasir panas…

Bunga-bunga bermekaran, pintu langit terbuka…

“Ya Allah,” ucapnya… “Berikanlah sebuah rumah yang hangat bagiku di sisi-Mu”

Hari itu adalah hari kepulangan Sultanah Asiyah ke rumahnya…

 

Asiyah binti Muzahim, Azizah, Sultanah Mesir, Pemimpin para wanita surga.

 

 

Tulisan lepas ini penulis tulis sebagai ringkasan novel Asiyah, Sang Mawar Gurun Fir’aun karangan Sibel Eraslan.

 

Ahmad Hilmy Luqman Al Hakim,

Mahasiswa Fakutas Ilahiyat, Necmettin Erbakan University, Konya-Turki

Dapatkan Promo spesial sekarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan