Kolaborasi untuk Indonesia

Bagikan

Ada satu hal yang perlu direfleksikan bangsa Indonesia dalam memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Saban tahun, peringatan ini seakan berjalan begitu saja, sehingga menjadi seremoni yang berbekas biasa saja. Bangsa Indonesia dapat menggapai kemerdekaannya setelah 3,5 abad alias 350 tahun berada dalam kerangkeng penjajahan. Jelas itu bukan waktu yang singkat. Waktu yang dilalui berbagai generasi dan peristiwa yang berbeda2. Ironisnya, generasi yang datang silih berganti dan peristiwa yang berubah2 jalan ceritanya itu ternyata masih satu tema besar. Zaman Penjajahan. Bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, sampai Inggris bertahun tahun dan berganti gantian mengeksplorasi sumber daya bangsa kita. Kenapa begitu mudahnya kita terjajah dalam kurun waktu yang begitu panjang oleh bangsa Eropa yang datang ke negeri ini dari jarak puluhan ribu kilometer.

Dua samudra mereka lalui, Atlantik dan Hindia. Secara logika, populasi pribumi Indonesia pasti beribu kali lipat angkanya dibanding dengan jumlah bangsa Eropa yang hadir pada abad 16-19. Mereka datang ke Nusantara hanyalah dengan kapal kapal dagang dan perang yang berkapasitas tak sampai ribuan. Belum ada pesawat terbang saat itu. Beda dengan hari ini ketika Tenaga Kerja Asing terus datang ke Indonesia dengan pesawat terbang Airbus A330 atau Boeing 777/787, berkapasitas hampir 500 penumpang yang frekuensi penerbangannya hampir per dua jam sekali. Sementara, butuh waktu berbulan2 bagi bangsa Eropa untuk mencecahkan kakinya di pulau terluar Nusantara. Lantas apakah mereka benar benar kuat saat itu,sehingga dapat menjajah kita beratus ratus tahun? Apakah cita cita 3G (Gold,Glory,Gospel) yang memberikan mereka energi lebih?

Ternyata tidak. Mereka tidaklah terlalu hebat, hanya memang Bangsa kitalah yang terlalu lemah saat itu. Bukan lemah fisik, bukan pula lemah iman. Lemah persatuan dan perasaan sebagai satu kesatuanlah yang membuat kita terjajah begitu lama. Belum ada narasi yang menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Perjuangan para pahlawan hanya sebatas untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya. Corak perjuangan hanya bersifat primordial atau dalam lingkup mempertahankan eksistensi daerah dan ras masing2. Ciri perjuangan dan perlawan seperti inilah yang membuat senang bangsa Eropa, sebab mereka akan dengan sangat mudah memecah belah dan mengadu domba rakyat Nusantara. Contohnya Kesultanan Mataram yang luhur. Karena campur tangan Belanda, pecah menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Di Sumatera Barat, Kaum Padri diadu domba dengan pemuka2 adat. Jauh sebelum itu Ternate dan Tidore yang makmur akan rempah2 di rusak ukhuwah islamiyyahnya karena Spanyol dan Portugis. Ternate pro Portugis semetara Tidore berada di pihak Spanyol. Hingga masuklah waktu di awal abad ke 20. Saat itulah para pendiri bangsa terutama kalangan ulama menyadari perlunya meleburkan kefanatikan daerah menjadi satu identitas baru. Arah baru yang bisa memutus alur cerita penjajahan yang sudah bosan dialami. Maka bermunculan lah pergerakan atas nama bangsa Indonesia, puncaknya ditandai dengan Sumpah Pemuda tahun 1928. Karena semangat kolaborasi dan kolektivitas untuk mengusir penjajah itulah, dalam kurun waktu tak sampai 30 tahun, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia benar benar bisa terwujud.

Itu pulalah yang menjadi alasan kenapa saat Belanda menyerahkan wilayah Indonesia pada Jepang, mereka hanya mampu memerintah kita sekitar 3 tahun. Meski saat itu, janji manis Jepang pada bangsa ini, sangat amat manis, tapi para pemimpin bangsa sudah paham pola dan cara mainnya sehingga tak terjerumus sebagaimana tiga abad silam. Itu karena semangat kolaborasi dan akal kolektivitas mereka yang kuat sebagai satu kesatuan, Bangsa Indonesia. Semangat kebersamaan ini juga ditunjukkan pada pengesahan Piagam Jakarta, poin pertama ada kata “Syariat Islam” disana. Lantas, perwakilan dari Indonesia timur dan kalangan minoritas “sedikit” keberatan. Andaikata pemimpin bangsa yang mayoritas Muslim sejati dan kalangan ulama saat itu mengedepankan ego, mengambil keputusan bukan didasari kebijaksanaan dan hanya berdasar pada suara mayoritas, niscaya kalimat “menjalankan syariat Islam bagi pemeluk2nya” bertahan sampai detik ini, dan terus menerus dibaca saat upacara bendera. Keikhlasan hati para ulama pendiri bangsa yang paham aturan main berbangsa yang majemuk seperti Indonesia itulah yang kemudian melahirkan Pancasila.

Sementara, hari ini kita menghadapi tantangan global yang lebih kompleks. Hadirnya Covid-19 tak hanya mengancam kesehatan namun juga menyebabkan negara kita dibayangi resesi perekonomian, pendidikan menjadi kacau, para pekerja di PHK,kepercayaan terhadap pemerintah terjun bebas. Belum lagi ada ancaman konflik geopolitik. Berbagai kawasan global memanas. Tiongkok sedang mencari celah menikung superpower abad 20, Amerika Serikat, yang tengah disorot dunia akibat kasus rasial, belum lagi situasi politik mereka memanas akibat Pilpres yang akan dilangsungkan akhir tahun ini. Joe Biden sedang ancang2 untuk menyudahi masa bakti Donald Trump yang dinilai tak banyak memberi bakti. Timur tengah usahlah ditanya. Turki sedang menunjukkan eksistensinya pada Uni Eropa dengan mengembalikan fungsi Ayasofia sebagai Masjid setelah 86 tahun jadi museum.

Lantas dimana posisi Indonesia ditengah krisis global berlarut. Agaknya kita perlu narasi yang membawa Bung Karno membacakan Teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Narasi untuk Kolaborasi dan mengaktifkan akal kolektivitas sebagai sebuah bangsa. Kita sudah belajar, menyelesaikan krisis tak bisa sendirian. Sebab bangsa ini buka milik satu golongan apalagi satu partai seperti halnya negara sosialis. Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau,1.300an suku, bermacam ragam budaya terlalu sempit untuk orang orang pelit. Alangkah lucunya jika ada satu golongan, kelompok, atau partai mengatakan atau paling tidak merasa bahwa krisis berbangsa dan bernegara hanya bisa diselesaikan kalau golongan, kelompok, atau partainya yang berkuasa.

Rasulullah SAW saja, saat tiba di Madinah,–kota dengan komposisi penduduk yang majemuk– langsung mengkolaborasikan kelompok Muhajirin dan Anshor, lantas mengajak kelompok Yahudi dan kaum paganis kerja kolektif demi keamanan dan ketentraman bersama, sehingga lahirlah Piagam Madinah yang menjadi konstitusi bernegara pertama yang ada.

Kemerdekaan Indonesia sudah 75 tahun, sudah akan mencecah satu abad. Kita punya langit yang tinggi ,namun kita terbang terlalu rendah. Sudah saatnya Indonesia memberikan Arah Baru yang berarti, bukan hanya bagi rakyatnya tapi juga bagi rakyat dunia, sebagaimana amanat pada Pembukaan UUD 1945. Semangat kolaborasi dan kolektivitas itulah kuncinya. Sehingga kita dapat berdiri sejajar dengan negara2 adidaya, menjadi 5 besar kekuatan dunia, dan membawa gelombang perubahan bagi kehidupan umat manusia yang lebih baik…

Penulis:
Fathan Aulia Rahman
Brandan Lautan Api, 17 Agustus 2020

Pict by: Fauzan Nadhil Qisthi

Eh, udah tau belum GoPay ada app baru? Download deh. Dapet 10,000 Coins GRATIS pas upgrade ke GoPay Plus. Tinggal verifikasi KTP aja. Ini link downloadnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Berita Populer

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Melody Ayunan Rasa

pada kenyataannya jika tidak ada komunikasi itumungkin tidak akan ada

Peduli Palestina

Inspiring Solidarity For Palestine Rp6.656.412 Terkumpul dari Rp10.000.000 68 Donasi

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan