Suatu hal yang tak bisa kita pungkiri bahwa tak ada satupun manusia di dunia ini yang dapat bebas dari dosa dan kesalahan, kecuali Muhammad Saw yang telah dijamin oleh Allah sebagai orang yang maβsum (terhindar dari dosa).
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna (ahsani taqwim), bukti kesempurnaan itu adalah akal dan hati. Akal manusia mampu membedakan antara yang haq dan bathil. Sedangkan, hatinya mampu memahami perasaan makhluk lain. Seiring penggunaan akal dan hati tersebut, manusia akan menemui evaluasi diri dari setiap hasil kontemplasi bathin.
Sesulit apapun jalan untuk menempuh kebaikan, putus asa bukanlah pilihan. Tetaplah berjalan maju meskipun dengan merangkak dan dipenuhi dengan cibiran orang lain yang mengatakan βSekarang sok alimβ atau kalimat sejenisnya yang buat kita down. Sejatinya tujuan pengamalan kita adalah mengharap ridlo Allah, di balik itu semua, sikap acuh tak acuh manusia sudah menjadi keniscayaan.
Riwayat menjelaskan Muhammad Saw. pernah bersabdaΒ βBertaqwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik.β (H.R. Tirmidzi).
Melihat kesalahan masa lalu sedikit mengerikan. But, donβt worry. Kasih sayang dan ampunan-Nya lebih luas. Hal ini bukan berarti kita boleh berbuat ingkar kepada Allah semaunya, justru tawaran pintu maaf Tuhan adalah kesempatan memperbaiki diri.
Hal ini pernah dijelaskan di dalam kitab Nashaihul Ibaad karya Syekh Nawawi al Bantani yang menuliskan bahwasanya orang-orang sholih mengatakan βJangan meremehkan dosa-dosa kecil, karena pada suatu saat akan menjadi besar. Begitu juga dengan niat berbuat baik meskipun dengan kadar kebaikan yang sedikit, akan tetapi hanya mengharap ridho Allah. Maka amalan tersebut bisa menjadikan pahala yang besar buat dirinya. Meskipun kebaikan tersebut hanya sekedar menyelamatkan seekor semut atau kecoa yang jatuh di atas air.”
Hal serupa juga pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw. Kisah pelacur yang diampuni semua dosanya oleh Allah yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah Saw pernah bersabda, βTelah diampuni seorang perempuan pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Perempuan tersebut berkata βAnjing ini hampir mati karena kehausan.β Lalu, dilepaslah sepatu perempuan itu, diikatnya dengan kerudungnya (menimba air kedalam sumur), lalu diberinya anjing itu minum. Maka, diampunilah perempuan itu karena telah memberi minum.β (HR. Bukhari).
Dari penggalan kisah tadi mengindikasikan bahwa dosa segunung bisa diampuni hanya dengan rasa kasih terhadap sesama makhluk. Tapi, maksud penulis tidak mengajak untuk beramai-ramai menumpuk dosa.
Teruslah berbuat baik meski itu melelahkan, karena lelahnya akan hilang sedangkan pahala in shaa Allah akan terus ada. Berbuat baik kepada siapa pun dan dimana pun tanpa memandang status agama, tingkat sosial masyarakat maupun suku.
Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah dengan kisah beliau menyuapi makanan setiap hari kepada pengemis Yahudi yang selalu mencaci maki Rasulullah. Dengan akhlaqul karimah yang beliau miliki, tak sedikit pun ada rasa kemarahan terhadap pengemis tersebut, beliau tetap memperlakukan dengan penuh kasih sayang dan hormat kepada orang yang lebih tua. Suatu kisah yang mengandung hikmah luar biasa.
Menarik kasus tersebut ke kondisi saat melakukan kebaikan, jangan sampai fokus tujuan amal kita untuk kebahagiaan manusia semata. Saat kita niatkan sesuatu untuk kebaikan maka kebaikan itu pula akan kembali kepada kita. Man yazro yahsud (Barang siapa yang menanam pasti akan menuai). Begitu kira-kira mahfudzatnya.
Dengan kita berikan kebaikan pada orang lain, sedekah, misalnya. Maka akan ada kebahagiaan dan kedamaian dalam diri kita saat bisa berbagi. Kita bisa melihat senyum mereka yang penuh ketulusan dan kesyukuran. Bisa jadi dari kebahagiaan orang yang kita beri sedekah tersebut, menjadi sebab keberkahan dan kemudahan kita didalam menjalani kehidupan.
Rutinitas kebaikan tersebut harus senantiasa bisa kita usahakan untuk selalu konsisten. Pasalnya, iman seseorang itu naik turun. Naiknya iman dengan ketaatan dan turunnya iman seseorang dengan maksiat.
Perlunya menjaga keimanan agar tetap stabil dalam kebaikan tersebut memanglah tidak mudah. Karena manusia senantiasa menerima godaan yang mengajak kepada keburukan. Maka dari itu, perlunya kita menjaga diri supaya senantiasa berada dalam ketaatan agama. Hal yang paling mendominasi kita dalam berperilaku adalah lingkungan pergaulan. Maka pilihlah teman maupun lingkungan yang mendukung kita untuk senantiasa berbuat kebaikan.
Selain itu, senantiasa bentengi diri dengan iman dan taqwa. Selalu memohon kepada Allah supaya ditetapkan hati dalam ketaatan dan keimanan sampai ajal menjemput. Dengan usaha untuk meningkatkan keimanan tersebut itulah, in shaa Allah diri kita bisa meminimalisir untuk berbuat maksiat. Akan tetapi, perlu menjadi sebuah kesadaran dasar kita untuk tidak memusuhi orang yang berbuat maksiat dengan merasa bahwa diri kita lebih baik dari mereka.
Barangkali Allah datangkan kita ke dalam kehidupan mereka sebagai perantara untuk mendatangkan hidayah. Mereka yang berbuat maksiat perlu adanya bimbingan dan nasehat yang halus bukan menghakimi apalagi memvonis pendosa. Karena dengan tutur kata yang baik, maka kerasnya hati akan kendur seiring bimbingan intensif kepada mereka.
Suatu nasehat menjadikan koreksi buat diri kita bahwa jangan pernah memandang rendah seseorang sekalipun orang tersebut adalah pendosa. Kita dilarang untuk merasa lebih baik dari manusia yang lain dengan amal yang kita miliki dan melakukan ketaatan tanpa merasa menjadi orang yang taat. Seorang Ulamaβ yang bernama Ibnu Athoillah as-Sakandari dalam kitabnya yang berjudul al Hikam, mengatakan bahwa βKemaksiatan yang membuahkan perasaan hina dan merasa butuh kepada Allah lebih baik daripada ketaatan yang membuahkan perasaan terhormat dan kesombongan.β
Gambar dari www.pexels.com