Situasi pasca perang dingin yang sempat terjadi pada tahun 1947-1953 mengundang beberapa kerugian besar, di antaranya, membutuhkan waktu yang lama untuk merekonstruksi dampak dari kerugian yang dihasilkan perang dingin tersebut. Lalu setelah selesainya perang dingin, banyak negara yang berasumsi bahwa perang adalah tindakan yang irrasional seperti yang dikutip dari bukunya Vinsensio Dugis (Dugis, 2016).
Dengan asumsi tersebut muncullah perjanjian untuk bekerja sama antar satu negara dengan negara lainnya. Setelah selesai Perang Dunia 1, Perang Dunia 2 dan cold war. Awal perdamian dunia yang tertulis dalam sejarah Internasional pun adalah perjanjian Westphalia yang mengkahiri segala bentuk perang selama 30 tahun lamanya.
Perjanjian Westphalia membentuk perdamaian dunia sebagai rantai kesepaktan. Beberapa negara menandatangani perjanjian tersebut pada tanggal 15 mei sampai 24 oktober 1648 yang bertepatan di provinsi Westphalia, dan sekarang menjadi bagian dari negara Jerman. Perang ini pun menghentikan perang Agama maupun perang negara dan membentuk stabilitas dunia yang baru.
Setelah beberapa negara melaksanakan perjanjian perdamaian tersebut, negara satu dengan negara lainnya cenderung melakukan kerja sama bilateral ataupun kerjasama multilateral dengan prospek mencapai kepentingan kedua negara yang saling kerja sama tanpa merugikan negara lainnya atau disebut sebagai Absolute Gains (Dugis, 2016).
Apa itu Diplomasi ?
Untuk mencapai kerjasama yang harmonis, maka negara membutuhkan yang namanya diplomasi antara kedua negara tersebut.
Lalu apakah itu diplomasi ? Secara terminologi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah urusan atau penyelanggaraan resmi antara satu negara dan negara lainnya. Jadi bisa dikatakan bahwa diplomasi adalah instrumen suatu negara untuk menjalin kerja sama demi tercapainya suatu keuntungan dari kedua belah pihak dengan bernegoisasi agar perang tidak terjadi (Kemendikbud).
Dalam bukunya Vinsensio Dugis dengan judul Teori Hubungan Internasional Prespektif-prespektif Klasik, Dugis berpendapat bahwa diplomasi adalah produk dari abad pencerahan Eropa atau renaissance, karena dengan paradigmanya kaum liberalis yang mengatakan negara dengan negara lainnya dapat mencapai keharmonisan lewat kerja sama antara satu negara dengan negara lainnya. Lalu lahirlah konsep turunan dari pardigma tersebut, yaitu diplomasi.
Apakah kaum Barat saja yang melakukan diplomasi? Apakah Islam mengajarkan kaumnya untuk menjalankan diplomasi sebagai instrumen untuk menghindari peperangan ? Mengingat Islam adalah salah satu agama yang berekspansi secara terus-menerus dan berperang untuk membela agama Islam adalah suatu tindakan yang perlu untuk dilakukan.
Sejarah Diplomasi dan Pandangan Islam
Ternyata, jika kita telaah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
“Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
Dari ayat ini mengajarkan kita dari ras manapun kita berasal kita tidak boleh melakukan tidakan yang rasial, dan untuk saling mengenal satu sama lain maka Nabi Muhammad S.A.W melakukan diplomasi untuk mediasi dari dasar yang ditujukan oleh ayat tersebut.
Rasul memberi contoh cara berdiplomasi dakwa islamiyah, Rasul menulis kalimat Risalatu ad-Dakwah dalam diplomasi kepada raja-raja tetangga yang hidup pada zaman tersebut. Rasul melakukan diplomasi lewat surat. Zaid bin Tsabit menerjemahkan surat tersebut dengan beberapa bahasa asing sebagai sekretaris Rasul yang bermanfaat agar memudahkan para raja yang menerima surat tersebut membacanya.
Sejumlah utusan pertama sebagai Duta Islam pertama ialah: Mus’hab bin Umar yang diutus ke Madinah. Ada pula sahabat lain, seperti Amr bin Umayyah adh-Dhamri, Hathib bin Abu Balta’ah Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi, Dihyah bin Khlifah al-Kalbi, al- A’la bin Hadrami, Salith bin al- Amiri, Syuja bin Wahb, dan Amr bin al-Ash (Sadewo, 2021).
Kemudian, sejarah Islam mengisahkan beberapa bukti dari diplomasi Risalatu Ad-Dakwah ialah surat yang Rasul kirimkan kepada Raja Muqauqis yang berisi :
Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Muqauqis Raja Qithbi. Keselamatan semoga tercurah kepada orang yang mengikuti petunjuk Nya. Amma ba’du: Aku mengajakmu dengan ajakan kedamaian Masuklah Islam maka engkau akan selamat. Masuklah Islam, maka Allah akan memberikan pahala Allah dua kali lipat. JIka engkau menolak maka atasmu dosa penduduk Qithbi.
Raja memberikan tanggapan terhadap Nabi berupa apresiasi dengan memberikan empat budak perempuan dan salah satunya menjadi istri Nabi yang bernama Maria Al-Qitbiyyah dan melahirkan Ibrahim putra tunggal laki-laki Nabi Muhammad yang wafat saat masih kecil. Beberapa hadiah lain berupa seekor kedelai dan seekor kuda serta 20 helai kain sutra Mesir (Umar, 2020).
Dalam perkembangannya, negara selalu memakai diplomasi sebagai instrumen pembentuk kerja sama antara dua negara dengan berbagai macam sarana dan mengikuti perkembangan zaman dan teknologi.
*) Penulis merupakan mahasiswa UNIDA Gontor
Sumber gambar utama: www.internationalaffairs.org