Inspiring.my.id Secara etimologi, kata rasional berasal dari bahasa Inggris, ‘rational’ yang berarti masuk akal (Markus dan Dikkie, 1996:291). Sedangkan Islam merupakan kata yang tersarikan dari bahasa Arab yang berbentuk masdar dari aslama-yuslimu yang berarti tunduk (Sya’bi, 1997:97) merupakan bentuk tambahan dari kata salima-yaslamu yang berarti damai. Kata rasional berarti sesuatu yang turut mengikuti akalnya atau secara laogika mampu diterima dengan baik.
Islam sendiri memiliki kata khusus untuk mengidentifikasi rasionalitas seorang hamba dengan berulang kali menyebutnya dalam al Quran melalui kalimat afalaa ta’qilun atau afalaa ya’qilun dari kata ‘aqala yang berarti berakal. Di sampuing kata ‘aqala, juga disebutkan beberapa kata yang mengacu kepada fungsi akal, seperti nadzara, tafakkara, faqiha. Pengertian Islam selanjutnya dapat dijumpai dalam pendapat salah seorang filosof Islam, Al Kindi. Ia mengatakan bahwa akal adalah daya berpikir yang terdapat di kepala. Al Kindi membagi akal ke dalam dua bagian, yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis adalah akal yang menerima arti-arti murni, yaitu arti-arti yang pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat. Sedangkan akal teoretis bersifat metafisis, mencurahkan perhatian ada alam immateri.[1]
Menurut dinamika rasionalisme Islam, Dewi Chamidah memetakannya dalam tiga periode, yakni 1) periode kemajuan (the golden age), 2) periode kemunduran (the dark age), dan 3) periode kebangkitan (renaissance age). Dalam aspek keluasan berpikir, banyak sekali ilmuwan muslim klasik yang mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Tidak hanya memfokuskan terhadap ilmu keislaman, bahkan membuat karya agung dalam bidang filsafat dan sains, sebut saja Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd. Mereka semua memandang Islam sebagai agama yang universal, sehingga melepas sekat penghalang yang menjadikan stereotip Islam hanya membahas ketuhanan dan hal-hal yang bersifat religious.
Tantangan Islam Dalam Masyarakat
Agama mengalami berbagai tantangan yang lebih hebat pada era modern serba canggih, khususnya Islam. Sebagai agama yang terbilang lama, Islam yang dulu dan sekarang tidak pernah merubah sumber hukum yang tertulis di dalam kitab sucinya, al Quran. Keistimewaan yang dimiliki oleh Islam sudah dirasakan sejak awal agama ini disebarkan, seperti cara penyebarannya yang tidak pernah melalui jalur kekerasan. Dalam hal ini juga mempengaruhi penyebaran Islam di kawasan Indonesia. Para muballigh (sebutan bagi penyebar Islam) yang datang dari negeri asal Islam muncul yakni Arab diawali dengan ekspedisi pelayaran, berdagang, hingga mempersunting masyarakat local untuk memperbanyak keturunan dan penganut Islam.[2]
Resiko yang diterima oleh Islam saat ini karena ditinggal oleh Nabi terakhirnya secara lahiriyah mengakibatkan pola pikir masyarakat berkembang dan terdorong untuk mengadakan pembaharuan. Sayangnya, keinginan bertahan untuk menjawab tantangan zaman dengan memperbaharui semangat keislaman tidak diimbangi dengan aspek spiritualitas yang murni, bahkan terkesan mengada-adakan sesuatu yang baru tidak sesuai tuntunan Islam. Seperti contoh yang marak di masyarakat adalah reduksi makna Islam secara sempit melalui beberapa kelompok belia yang mengaku menjadi agen liberalisasi Islam berikutnya, muncul Islam Nusantara, bentuk Islam khusus yang dirombak dan disesuaikan agar sesuai dengan kondisi di Nusantara, Indonesia.[3]
Mereka Yang Memainkan Dalil
Kembali merujuk kepada makna Islam yang merupakan sikap tunduk dan berserah diri. Tanpa berniat mendiskriminasi agama lain karena tulisan ini membahas dari perspektif Islam, maka layaknya tulisan ini dominan dengan keistimewaan Islam. Allah Swt berfirman di surat Ali Imran ayat 19 :
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ…………..
“Sesungguhnya agama yang di sisi Allah adalah Islam……”
Kemudian dipertegas oleh Allah dalam surat yang sama pada ayat 83 yang berbunyi :
أَفَغَيْرَ دِينِ ٱللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُۥٓ أَسْلَمَ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal segala apa yang di langit dan di bumi itu berserah diri kepada-Nya baik secara suka rela atau pun terpaksa dan kepada-Nya mereka dikembalikan”
Sayangnya, lagi-lagi Islam dibenturkan dengan perkembangan zaman dan diperselisihkan dengan ilmu pengetahuan, padahal Islam sudah mencakup segala ilmu yang ada di alam ini, hanya saja itu disadari bagi mereka yang berpikir dan membuka mata hatinya. Sebagian pendukung kaum liberal mendatangkan ayat tandingan dengan dalih bahwa Allah menerima semua agama diterima di sisi-Nya, sebagaimana mereka sering mengutip ayat 62 dari surat al Baqarah :
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Dengan dalih dalil tersebut mereka mengklaim bahwa Allah mensejajarkan tiga agama sekaligus, padahal Allah menjelaskan kondisi keimanan mereka adalah jikalau sama dengan umat Islam yang meyakini nabi dan Tuhan yang telah ditetapkan maka mereka akan mendapat petunjuk sama seperti muslim. Hal ini dijelaskan dalam al Baqarah ayat 137 :
فَإِنْ ءَامَنُوا۟ بِمِثْلِ مَآ ءَامَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهْتَدَوا۟ ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنَّمَا هُمْ فِى شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ ٱللَّهُ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Solusi Pengembalian Spiritualitas Masyarakat
Menurut Hamid Fahmy Zarkasy, ada beberapa cara jitu guna mengembalikan marwah masyarakat Islam di dalam guncangan ideologi masa kini. Memurnikan kembali spirit keislaman secara ritual, kemudian meningkatkan kepada iman lanjut ihsan, hingga sampailah bentuk keislaman yang beriman memproduksi kecerdasan atau intelektual dalam menyikapi setiap gejolak yang muncul di masyarakat.(Hamid, 2019)
- Berislam Melalui Ritual
Kondisi umat Islam secara umum yang mengalami kemunduran kualitas pendidikannya, ekonominya, politik dan sosialnya memperlihatkan fakta di masyarakat masih banyak pelaku korupsi, perzinaan, pembunuhan, dan lain-lain jauh dari representasi shalat, sehingga shalat saja tidak cukup apabila dijadikan model penggembangan akhlak, tapi harus dibarengi dengan aktualisasi segenap ritual yang ada, seperti akal, harta, perut dan hati, serta semua amalan.[4]
- Berislam Tingkat Iman
Beriman dengan sempurna akan membawa individu menjadi pribadi baik. Beriman juga berarti mencintai yang secara logika orang yang mencintai sesuatu tidak akan melakukan sesuatu yang dibenci oleh kekasihnya, begitu juga kepada Allah Swt.[5]
- Berislam Tingkat Ihsan
Ihsan merupakan tingkat kesalehan tertingi, sehingga sendiri dapat memberiikan manfaat minimal terhadap diri sendiri. Menurut Ibn Qayyim dalam kitabnya ‘Zad al ma’ad’ ihsan merupakan menyenangkan hati, melapangkan dada, membuka nikmat dan menolak bala.[6]
- Berislam Tingkat Intelektual
Jika seseorang atau kelompok masyarakat sudah menjalani tiga tahapan; ritual, iman, dan ihsan, maka mata hatinya akan beramal sesuai pikirannya dan akan mampu memisahkan antara yang benar dan salah. [7] Di sinilah tingkatan tahap menjaga masyarakat Islam agar memupuk keislamannya secara murni, serta terhindar dari kerancuan ideologi ‘pembaharuan’ yang menyesatkan.
Wallahu a’llam bi shawab
Penulis:
Abdurrahman Ad-Dakhil
UIN Syarif Hidayatullah – Bahasa dan Sastra Arab
Daftar Pustaka
[1] D. Chamidah, “Pertemuan Agama dan Budaya : Untuk Mewujudkan the Excellent of Civilization,” ULUL ALBAB J. Studi Islam, vol. 10, p. 202, 2009.
[2] “7 Cara Masuknya Islam ke Indonesia & Penjelasannya.” https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/04/masuknya-islam-ke-indonesia.html (accessed Aug. 07, 2020).
[3] “Islam Nusantara Penerus Islam Liberal,” Majalah Islam Asy-Syariah, Feb. 01, 2017. https://asysyariah.com/islam-nusantara-penerus-islam-liberal/ (accessed Aug. 06, 2020).
[4] H. F. Zarkasyi, “Minhaj : Berislam dari Ritual hingga Intelektual,” Insists, 2019, p. 102.
[5] “Ibid,” p. 159.
[6] “Ibid,” p. 189.
[7] “Ibid,” p. 253.
Link Terkait
Daftar sebagai penulis web Inspiring