Di pertengahan siang yang tak biasanya sejuk
Aku terengkuh bersama kursi-kursi kosong di lantai atas
Berdua dengan sebuah siluet hitam
Menatap sendu kepada angin yang terus menggoda untuk mencari
Dia yang hinggap di memori tapi tak pernah kusebut namanya
Bersama dengan runtuhnya laskar tetesan tipis
Menyelubungi ozon biru dengan satu kali hujatan
Kepul kabut menyelimuti sekujur tubuh
Perlahan dan perlahan hilang hingga dunia menjadi lekas nyata
Meski hilang, pagi datang lagi membawa kabut seputih kapas
Ketika aku dihadapkan dengan jernih mata air
Memoriku bekerja mengingat tentang dia yang tak kusebut namanya
Berujung pada diri penuh tanya berputar mengelilingi
Apakah dia sejernih itu?
Apakah damai seperti itu?
Apakah dia sebaik itu?
Mungkin tak sejernih, sedamai, sebaik yang dikira
Tapi jiwaku memaksa ingin atas sebuah pertemuan
Dengan dia yang tak kusebut namanya
Duhai, kau …
Tuhan sangat baik menikam terlalu banyak rindu padaku
Hingga rindu berskala sangat dalam ini terobati
Oleh hadir kau yang tak kusebut namanya
Aku sedang menunggu waktu
Mengucap huruf demi huruf bagi seorang yang tak kusebut namanya
Nantikan saja, ketika waktu izinkan penantian itu
Kurapalkan kau, dirimu dan jiwamu
Di setiap untaian munajat dan lisan
Hanya untuk dia yang tak kusebut namanya
Sumber gambar: pexels.com