Era digital merupakan masa di mana seluruh aspek yang membantu manusia dalam menjalankan kesehariannya diimplementasikan berdasarkan teknologi. Dalam hal ini, teknologi memiliki andil besar dalam pertumbuhan sosial masyarakat terutama interaksi antarsesama. Tidak hanya gadget, televisi atau alat-alat rumah tangga, bahkan bentuk-bentuk yang berhubungan dengan literasi seperti artikel, berita-berita dan buku telah diubah ke dalam bentuk digital atau elektronik.
Memasuki era digital, buku elektronik atau yang lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai e-book mulai beredar luas di kalangan masyarakat, terutama para akademisi yang membutuhkannya sebagai bahan untuk riset atau referensi. Penyebaran e-book ini dilakukan melalui media sosial. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan para penulis dan para penerbit buku cetak. Tidak hanya kekhawatiran mengenai produksi percetakan buku yang berkurang, melainkan juga kekhawatiran mengenai minat masyarakat terhadap buku fisik.
Lalu, benarkah masyarakat lebih berminat untuk beralih ke e-book di era digital ini?
Di Amerika Serikat, menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research pada tahun 2013, bahwa setengah dari populasi orang dewasa Amerika Serikat memiliki komputer tablet dan tiga dari sepuluh orang membaca buku elektronik dibanding buku cetak (bbc.com, 2016). Popularitas buku elektronik di Amerika mulai meningkat sepanjang tahun 2008-2010 dengan munculnya aplikasi-aplikasi seperti Nook dan iPad yang dirilis berdampingan dengan iBooks Store. Menurut New York Times, penjualan buku elektronik mulai meningkat sebanyak 1,260% di Amerika Serikat. Bahkan, pada tahun 2011, salah satu penerbit buku di Amerika Serikat, Border Books, dinyatakan bangkrut karena hal ini.
Namun, rupanya minat masyarakat Amerika Serikat terhadap buku cetak masih lebih tinggi dibandingkan e-book. Dilansir Okezone (2017), penjualan e-book di Amerika Serikat cenderung turun sebesar 18,7% selama 9 bulan pertama di tahun 2016. Pengamat Ofcom dari Inggris mengungkapkan bahwa sepertiga orang dewasa mulai mencoba membatasi interaksi dengan smartphone, gadget, tablet dan perangkat elektronik lainnya. Selain itu, Kepala Divisi Hiburan dan Media PwC, Phil Stokes mengungkapkan bahwa buku anak-anak lebih banyak diminati dalam bentuk cetak.
Bagaimana dengan Indonesia?
Berbeda dengan Amerika Serikat yang mengalami pasang surut dalam penggunaan e-book atau buku cetak dalam masyarakatnya, Indonesia rupanya tetap memiliki ketertarikan yang lebih pada buku cetak dibandingkan e-book. Meskipun kekhawatiran masih menghantui para penulis dan penerbit di Indonesia terhadap minat masyarakat Indonesia, hal ini rupanya ditepis oleh beberapa penerbit besar di Indonesia, di antaranya adalah Penerbit Republika dan Bentang Pustaka.
Menurut General Manager Republika Penerbit, Syahruddin El-Fikri, penjualan buku cetak di era digital masih banyak diminati masyarakat, bahkan mengalami peningkatan. Minat baca masyarakat pun semakin meningkat (Republika, 2016). Menurutnya, penjualan buku cetak via online memberikan banyak keuntungan karena dinilai lebih praktis. Bahkan, masyarakat yang berada di daerah tertentu dapat membeli buku tanpa harus keluar rumah. Memanfaatkan teknologi sebagai bahan pemasaran dan penjualan dianggap efektif dibandingkan hanya mengandalkan distribusi ke toko buku saja.
Sama halnya dengan penerbit Bentang Pustaka. Sebagai penerbit besar yang telah menerbitkan banyak karya dari penulis-penulis terkenal seperti Andrea Hirata, Tasaro GK dan Dee Lestari, rupanya kekhawatiran mengenai produksi buku cetak di era digital tidak begitu dirasakan. Redaksi Penerbit Bentang Pustaka, Imam Risdiyanto mengemukakan keyakinannya bahwa buku-buku yang diterbitkannya masih disambut baik oleh masyarakat. Menurutnya, orang-orang merasa tidak cukup jika hanya membaca melalui gadget. Mereka butuh untuk memegang sebuah buku dan mencium bau khas kertasnya (VOA Indonesia, 2018).
Menurut survey yang dilakukan penulis terhadap 10 mahasiswi Universitas Darussalam Gontor, 9 dari 10 mahasiswi lebih menunjukkan minatnya pada buku cetak dibandingkan e-book. Hal ini dikemukakan oleh seorang mahasiswi program studi Farmasi, Inesya Yesita Cendana, bahwa penggunaan buku cetak lebih menarik dibandingkan e-book karena penggunaannya yang terkesan mudah untuk dibawa berpergian dan efektif tanpa perlu menggunakan jaringan internet. Alasan lain juga dikemukakan oleh Ridha Hisna, mahasiswi program studi Ekonomi Islam, Universitas Darussalam Gontor. Menurutnya, penggunaan buku cetak lebih sehat karena buku cetak tidak berkontak langsung terhadap radiasi cahaya dari gadget yang dapat merusak mata apabila digunakan secara berlebih. Hisna juga mengutarakan bahwa buku cetak dapat digunakan oleh segala usia, terutama para orang tua yang berkisaran di umur 50 tahun ke atas yang cenderung belum mengenal media elektronik secara keseluruhan, terutama dalam penggunaanya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Nabila Thyra Janitra, mahasiswi program studi Hubungan Internasional, bahwa penggunaan buku cetak lebih efektif dalam penggunaan sehari-hari karena menurutnya, ia dapat mencorat-coret atau memberi tanda pada buku cetak. Ini dikarenakan dirinya adalah tipe orang yang harus memiliki coretan dalam buku untuk memahami kata-kata yang tertera dalam buku.
Ada kisah menarik dari mahasiswi Aqidah Filsafat Islam, Nisrina Shafi Athira mengenai pengalamannya untuk mencari e-book yang berkaitan dengan buku yang ingin dicarinya. Saat itu, ia berniat untuk mencari buku mengenai tasawuf pemikiran ulama-ulama nusantara zaman dahulu. Namun, buku yang ia cari tidak ada di media sosial. Karena tidak ada, akhirnya ia meminjamnya dari dosennya. Ia berpendapat bahwa tidak semua buku cetak dapat die-book-an. Bahkan, buku cetak pun dapat menjadi hal yang sulit dicari (limited edition).
Berbeda dengan pendapat beberapa narasumber diatas, mahasiswi program studi Hubungan Internasional lainnya, Devita Nadya Shafira mengemukakan bahwa dirinya lebih memilih e-book dibandingkan buku cetak. Hal ini dikarenakan harga e-book lebih murah dibandingkan dengan buku cetak. Efektifitas yang ditimbulkan dengan memilih e-book juga lebih baik dibandingkan buku cetak. Selain itu, narasumber menyebutkan bahwa e-book memiliki manfaat yang lebih untuk digunakan, terutama dalam keadaan dimana pandemi Covid-19 sedang mewabah saat ini.
Terbukti bahwa era digitalisasi bukanlah penghalang untuk tetap melestarikan buku cetak. Meskipun buku elektronik atau e-book telah banyak beredar di media sosial, terutama untuk keperluan riset dan referensi, buku cetak masih tetap menjadi primadona bagi banyak masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Bahkan, angka pembelian terhadap penjualan buku cetak mengalami kenaikan yang cukup tinggi, seperti yang terjadi pada dua penerbit besar di Indonesia, Republika Penerbit dan Bentang Pustaka.
Maka dari itu, mengikuti zaman tentunya harus dilakukan agar sosialisasi dengan individu lain dapat berjalan dengan baik. Namun, perubahan zaman seharusnya tidak sampai menjadikan individu juga meninggalkan budaya yang telah lama berjalan, terutama budaya dalam melestarikan karya-karya para penulis yang telah diabadikan dalam sebuah buku. Karena, karya-karya yang dihasilkan adalah buah dari hasil pemikiran para cendekiawan yang mengabdi dengan ilmu, dan buku adalah ladangnya.
REFERENSI
bbc.com. 1 Februari 2016. https://www.bbc.com/indonesia/vert_fut/2016/02/160130_vert_fut_buku_hilang (diakses April 2020, 15).
Okezone. 1 Mei 2017. https://economy.okezone.com/read/2017/05/01/320/1680585/penjualan-buku-naik-eh-penjualan-e-book-turun-hingga-20 (diakses April 2020, 15).
Republika. 18 Februari 2016. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/01/11/gaya-hidup/trend/16/02/18/o2pvpa384-nasib-buku-cetak-di-era-digital-menurun (diakses April 2020, 15).
VOA Indonesia. 16 Maret 2018. https://www.voaindonesia.com/a/buku-di-indonesia-masihkah-dibaca-/4301275.html (diakses April 15, 2020).
Sumber gambar : pexels.com