Tradisi adalah suatu fenomena sosial yang timbul dari tatanan sosial, dan berkembang pada suatu lingkup masyarakat. Tradisi keilmuwan sendiri pada dasarnya adalah fondasi awal pembentukan ilmu-ilmu dalam suatu peradaban atau masyarakat[1]. Dengan adanya tradisi keilmuwan ini pula, menjadikan sebuah peradaban memiliki suatu shibgoh atau identitas yang menjadi ciri khas dari suatu peradaban atau pun kelompok masyarakat. Disinilah letak pentingnya tradisi keilmuwan sebagai pusat lahirnya ilmu-ilmu dan ilmu-ilmu itu sendiri yang nantinya dikembangkan untuk menggerakan tradisi keilmuwan dan menghasilkan potensi-potensi yang ada untuk mendorong laju pendidikan dalam suatu lingkup atau bahkan peradaban.
Pendidikan sendiri merupakan suatu kebutuhan bahkan urgensi yang tidak bisa dilepaskan dari segala aspek kehidupan manusia. Banyak pakar yang merumuskan tentang definisi pendidikan itu sendiri yang lahir dari sudut pandang mereka masing-masing. Namun jika ditarik garis besarnya, pendidikan adalah suatu upaya yang terlibat didalamnya pengajaran, praktik, pengawasan, pemberian contoh, dan penanaman nilai untuk mempersiapkan suatu individu dalam menghadapi kehidupan nantinya.
Di dalam pendidikan inilah didapati bahwa setiap gerakan yang dilihat, setiap suara yang didengar, dan setiap tingkah laku dalam lingkungan, akan berpengaruh dan meninggalkan dampak terhadap setiap individu walau tanpa pengajaran yang disengaja. Sehingga pendidikan tidak bisa diartikan secara sempit saja sebagai pengajaran tetapi mencakup seluruh lini yang membentuk setiap individu tersebut.
Dari dua aspek pembahasan di atas, nampak bagaimana sinkronisasi antara kebutuhan akan ilmu yang berbanding lurus dengan keharusan adanya wujud kesadaran pendidikan. Dalam ajaran Islam sendiri, penanaman nilai-nilai pendidikan sudah memiliki arahan khusus dengan Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah sebagai pedoman dan asas keilmuwan. Arahan dari wahyu yang haq inilah yang akan merujuk pada suatu tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Al-Imam Al-Ghazali yakni kebahagian dunia dan akhirat.
Di samping dari pada wahyu sebagai epistemologi pendidikan dalam islam, Rasulullah juga telah mencontohkan upaya pengoptimalan nilai-nilai pendidikan ini dalam suatu lingkup dakwah dan kemasyarakatan. Hal ini tak terlepas dari napak tilas diangkatnya Muhammad bin Abdullah menjadi nabi penutup dengan sebuah wahyu Allah dan “perintah” membaca[2].
Ditinjau dari cara Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan Islam sendiri juga dapat kita temui, bagaimana rasul tidak hanya sebatas menyebarkan perintah dan pesan dari Allah, tetapi juga mencerdaskan peradaban dengan majelis-majelis ilmu yang didirikan baik saat masih bertempat di Mekkah dengan Darul Arqam ataupun setelah hijrah ke Yatsrib (Madinah) dengan mendirikan masjid yang tak hanya menjadi pusat aktivitas ibadah, melainkan juga informasi, keilmuwan, bahkan strategi politik yang nantinya faktor-faktor tersebutlah yang menjadi motor perkembangan peradaban Islam. (padahal pada masa itu masyarakat masih sangat bergantung pada tradisi bodoh sehingga masa itu disebut sebagai era “jahiliyyah” dimana seluruh kegiatan ditimbang berdasarkan tradisi tanpa fondasi keilmuwan yang jelas).
Lewat tradisi keilmuwan ditanamkanlah nilai dan keutamaannya[3] sebagai bentuk motivasi dan semangat yang dilanjutkan oleh para sahabat yang menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ditambah dengan konsep “kaffah[4]” dan equal[5] .Dalam Islam yang tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan jenis ras, daerah ataupun gender yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam intelek-intelek muslim dalam berbagai bidang. Lewat semangat ini pula, lahir suatu sistem pendidikan berjenjang yang masih bertahan hingga saat ini. Dilihat dari pendirian madrasah dan jami’ah (universitas) yang dimulai oleh peradaban Islam pada masa kekhalifahan Ummayah dan Abbasiyah.
Banyaknya halaqah-halaqah keilmuwan yang mencontoh dari kebiasaan Nabi dan para sahabat juga menjadi ciri khas tersendiri dari bagaimana Islam tak hanya mengurus masalah agama saja. Tetapi juga mengintergrasikannya ke setiap lini kehidupan. Sehingga dari semangat keilmuwan tersebut lahirlah suatu peradaban yang kuat dengan pendidikannya, luas pengetahuannya, dan memiliki kapasitas yang unggul dalam intelektualnya. Maka tak heran, jika Islam sebagai peradaban pada saat itu menjadi Ka’batul Qushod, pusat peradaban dan kekuatan dunia yang pengaruhnya tak hanya didalam wilayah kekuasaannya saja melainkan sampai kepada seluruh penjuru dunia dalam kurun waktu 13 abad lamanya (terhitung dari masa Daulah Bani Abbasiyah sampai dengan runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani 1924).
Jika berkaca dari paparan diatas, sungguh amatlah miris melihat realita bagaimana kondisi ummat pada saat ini. Tradisi keilmuwan itu memang tidak hilang, namun kesadaran akan nilai pendidikan dan keislaman banyak terkikis dari setiap individu akibat maraknya usaha penanaman ideologi non tauhid yang sangat masif, dan terbatas orientasinya pada masalah keduniaan saja. Inilah yang menjadi “pekerjaan rumah” bagi tiap muslim pada umumnya, dan setiap intelektual muslim pada khususnya. Untuk membangkitkan kembali semangat keilmuwan dan kesadaran akan tujuan pendidikan dalam Islam, dengan penerapan nilai-nilainya, dan upaya membangkitkan kembali tradisi keilmuwan dalam Islam agar tercipta masyarakat islam yang kokoh agamanya dan unggul intelektualnya.
Upaya ini juga mulai dimasifkan diberbagai sekolah, pesantren dan perguruan tinggi Islam. Dengan semangat “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang mengupayakan adanya integrasi agama maupun dalil didalamnya, dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang aktual di masa sekarang.
Hal ini juga merupakan wujud dari optimalisasi nilai pendidikan dari tradisi keilmuwan Islam. Dimana segala “teori” yang tersampaikan dalam proses pembelajaran dapat dioptimalkan langsung dengan wujud “praktek” pada kehidupan aslinya, yang tentunya harus didukung dengan pengawasan, pengarahan, penanaman nilai dan pemberian contoh yang baik dari orangtua, guru, maupun lingkungan sekitar yang tentu akan menunjang suksesnya optimalisasi nilai pendidikan ini. Sehingga menghasilkan asar yang baik, yang dengannya mencetak generasi yang baik moralnya, cakap wataknya dan unggul intelektualnya. Dan menjadi pioneer kebangkitan peradaban islam yang mengawal nilai-nilai keislaman.
Referensi
Al-Quran Al-Karim
Alparslan Acikgenc, Lahirnya Tradisi Keilmuwan Dalam Islam, Institute for The Study of Islamic Thought and Civilitation (INSISTS) Jakarta, 2019.
Ushul At-Tarbiyah wa At-Ta’lim jilid 1, KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Darussalam Press 2011
Imam Subakir Ahmad, Tarikh Hadharatil Islam, KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Darussalam Press 2001
Umar Iskandari dan Miraj Safdaj, Tarikhul Islam, KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Darussalam Press 2002
Felix Y. Siauw, Beyond The Inspiration, Al-Fatih Press 2019
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah jilid 1, Penerbit Surya Dinasti 2015
[1] Alparslan Acikgenc, Lahirnya Tradisi Keilmuwan Dalam Islam, Institute for The Study of Islamic Thought and Civilitation (INSISTS) Jakarta, 2019.
[2] QS : 95 ayat 1-5
[3] QS. 58 ayat 11, HR. Muslim No. 2699 & 3084
[4] QS. 34 ayat 28
[5] QS. 49 ayat 13