ekonomi islam - Inspiring Menulis

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Bagikan

Oleh: Armina dan Setiawan

Bagaimana Asal Usul Pemikiran Ekonomi Islam?

Kemunculan Ilmu Ekonomi Islam Modern di panggung internasional, dimulai pada tahun 1970-an ditandai dengan kehadiran para ekonom Islam kontemporer, seperti Muhammad Abdul Mannan, M. Najatullah Shiddiqy, Kursyid Ahmad, An-Naqvi, M. Umar Chapra, dan lain-lain. Sejalan dengan itu berdiri Islamic Developments Bank (IDB) pada tahun 1975, dan selanjutnya diikuti pendirian lembaga-lembaga perbankan dan keuangan Islam lainnya di berbagai negara.

Pada tahun 1976 para pakar ekonomi Islam dunia berkumpul untuk pertama kalinya dalam sejarah pada International Conference on Islamic Economic and Finance di Jeddah[/efn_note], dan telah membuahkan hasil dengan banyak mewacanakan kembali ekonomi Islam di ranah bisnis modern seperti  halnya lembaga keuangan syariah bank dan non bank.

Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik tentunya telah hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu [efn_note]. Menurut Muhammad Najatullah Shiddiqy, pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka.

Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh Ijtihad  (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Pemikiran adalah sebuah proses kemanusian, namun ajaran Al-Quran dan Sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah Al-Quran dan  Sunnah tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-Quran dan  Sunnah tentang ekonomi.

Objek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi pada praktik historis, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasikan dan mengimplementasikan ajaran Al-Quran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang terdahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisis kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa lalu [/efn_note].

Dalam wujudnya, ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu hal yang sebenarnya memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi manusia adalah suatu fitrah. Seperti halnya, kita berlogika terhadap upaya Adam A.S, yang mencoba bertemu dengan Hawa, ketika di turunkan ke bumi dalam interval jarak yang cukup jauh dan hanya ada dua orang di muka bumi ini.

Tentunya upaya untuk mempertahankan hidup sejak itu juga dilakukan. Begitu pula dengan anak-anak Adam A.S dan Hawa. Ketika keduanya; Habil dan Qobil mencoba memenuhi kebutuhan hidupnya dengan saling bertukar akan potensi yang telah mereka miliki masing-masing.

Permasalahannya adalah bagaimana kita menemukan kembali jejak-jejak kebenaran akan sejarah, fase dan periodik munculnya konsep ekonomi Islam secara teoretis dalam bentuk rumusan yang mampu diimplementasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu-rambu; halal-haram atau berprinsip Syariat Islam[efn_note].

Sumber pembentukan ekonomi Islam adalah 1. Al-Quran 2. Sunah 3. Hukum Islam dan Yurisprudensinya (Ijtihad) 4. Sejarah peradaban umat Islam 5. Data yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi.[/efn_note]. Lingkup bahasan kelangkaan tentang kajian sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan [efn_note].

Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam dominan bermuatan sejarah politik sehingga penting untuk membongkar sejarah Islam dalam aspek perekonomian. Perkembangan Islam pada masa awal ternyata bukan hanya perkembangan politik dan militer, namun perkembangan ekonomi juga memiliki peranan yang signifikan dalam menopang peradaban Islam itu sendiri [/efn_note].

Dan para ekonom Islam sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam. Sesungguhnya , ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner  yang menjadi bahan kajian para Fuqoha’, mufasir, filsuf, sosiolog, dan politikus.

Sejumlah cendekiawan Muslim terkemuka, seperti Abu Yusuf (w.128 H), Al-Syaibani (w.189 H), Abu Ubaid (w.224 H), Yahya bin Umar (w.289 H), Al-Mawardi (w.450 H), Al-Ghazali (w. 505 H), Ibnu Taimiyah (w.728 H), Al-Syatibi (w.790 H), Ibnu Khaldun (w.808 H) dan Al Maqrizi (w.845 H), telah memberikan kontribusi yang besar terhadap keberlangsungan dan perkembangan peradaban Dunia, khususnya pemikiran ekonomi, melalui sebuah evolusi yang terjadi selama berabad-abad.

Latar belakang para cendekiawan Muslim tersebut bukan merupakan ekonom murni. Pada masa itu, klasifikasi disiplin ilmu pengetahuan belum dilakukan. Mereka mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu dan mungkin faktor ini yang menyebabkan mereka melakukan pendekatan interdisipliner antara ilmu ekonomi dan bidang ilmu mereka tekuni sebelumnya. Pendekatan ini membuat mereka tidak memfokuskan perhatian hanya pada variabel-variabel ekonomi semata.

Para cendekiawan ini menganggap kesejahteraan umat merupakan hasil akhir dari interaksi panjang sejumlah faktor ekonomi dan faktor-faktor lainnya seperti moral, demografi, dan politik. Konsep ekonomi mereka berakar pada hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist Nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, dan mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat, serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.

Selama 14 abad sejarah Islam, terdapat studi yang berkesinambungan tentang berbagai isu ekonomi dalam pandangan syariah. Sebagian besar pembahasan isu-isu tersebut terkubur dalam berbagai literatur hukum Islam yang tentu saja tidak memberikan perhatian khusus terhadap analisa ekonomi.

Sekalipun demikian terdapat beberapa catatan para cendekiawan muslim yang telah membahas berbagai isu ekonomi tertentu secara panjang, bahkan diantaranya memperlihatkan suatu wawasan analisis ekonomi yang sangat menarik. Memaparkan hasil pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal: pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, dan kedua, memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini.

Urgensi sejarah pemikiran ekonomi Islam para cendekiawan muslim yang telah menelurkan berbagai rumusan akan misteri kehidupan yang diturunkan dari Kalamulah Al Quran dan sunah, benar-benar disampaikan secara totalitas tanpa ada pengurangan maupun penambahan. Prinsip kehati-hatian dan prinsip mutlak sesuai dengan penyampaian awal sangat dijunjung tinggi, seperti halnya al-Qurthubi sampaikan.

Ketidaksistematisan dan indahnya pengemasan unsur keilmuan yang harus disampaikan oleh masing-masing periwayat keilmuan ini, merupakan suatu hal yang berbahaya. Hal ini ditangkap oleh mereka para Orientalis [efn_note].

Orientalis adalah sebutan bagi seseorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan “Timur” biasanya istilah Orientalis disebut ahli ketimuran, untuk hubungan Islam mengenai Orientalis tidak dikaitkan dengan Timur atau Barat melainkan untuk seluruh dunia atau universal. Hanya saja kajian para Orientalis dalam bidang keagamaan terutama tentang Islam, terdapat hal-hal yang bersifat negatif di samping yang positif hingga membangkitkan reaksi dari para pemeluk agama terutama agama Islam [/efn_note].

Sebagai sinyal peluang untuk disusupi dan memutar balikkan fakta dan pernyataan yang telah diungkapkan. Baik berupa plagiat keilmuan dengan sistem “asal klaim” maupun memutar balikkan fakta, isi, dan konten pernyataan para cendekiawan, sehingga memiliki arti yang berlawanan dan tidak sesuai dengan tujuan penyampaian semula oleh para cendekiawan muslim.

Oleh sebab itu, penelitian kembali akan sejarah  yang meskipun tidak akan bertemu kembali, namun dapat dijadikan sebuah pelajaran utama yang berharga dalam salah satu sandaran pijakan jika nantinya sejarah terulang kembali dengan kemiripan situasi dan kasus serupa.

Sumber gambar: mediasiar.com

 

Dapatkan Promo spesial sekarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Tulisan Populer

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan