Inspiring Menulis – Kuliah oke, nyantri oke, prestasi oke, bermartabat. Kalau melihat “santri mahasiswa” timbullah suatu pertanyaan, apakah santri mahasiswa kuliah dengan memakai sarung? Ataukah mahasiswi yang mengenakan cadar? Mari kita berfikir relative sejenak, melihat makna, dan syarat sebagai santri dan bagaimana seseorang disebut mahasiswa, jika disatukan memang akan ada perbedaan.
Menyandang gelar mahasiswa adalah kebanggaan tersendiri sekaligus menjadi sebuah tantangan yang sangat besar. Mahasiswa merupakan seseorang yang sedang berproses mencari ilmu seluas mungkin, mahasiswa adalah calon pemimpin generasi masa depan. Menjadi mahasiswa harus merubah mindset lebih baik, jiwa, kepribadian, serta kesehatan mental yang kuat. Kedudukan mahasiswa memiliki posisi teristimewa di masyarakat terutama dalam perannya menjadi agen perubahan (agent of change) dalam berbagai bidang. Ciri khas mahasiswa adalah berfikir secara kritis dan berfikir analisa sebelum melangkah.
Santri adalah siswa yang terdidik, terpelajar, dan penggerak serta melanjutkan perjuangan ulama. Santri merupakan gelar kemuliaan, kebanggaan, kehormatan karena orang memperoleh gelar santri bukan karena sebagai pelajar/ mahasiswa melainkan memiliki akhlak atau budi pekerti yang tidak dimiliki oleh orang awam pada umumnya.
Mahasiswa yang santri atau santri yang mahasiswa mengusahakan semua mahasiswa harus mengamalkan dan mempertahankan amaliyah-amaliyah serta menjunjung tinggi ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah dalam kehidupan sehari-hari kapan pun dan dimana pun mereka berada.
Sebagian besar dari mahasiswa Universitas Islam di Indonesia memiliki latar belakang pendidikan pesantren, kampus perlu mewadahi amaliyah-amaliyah tersebut yang meliputi; tahlilan, sholawatan, maulidan, khotmil Qur’an, pembacaan rotib, manaqib yang sudah membudaya di lingkungan kampus.
Apabila mahasiswa dan santri dikombinasi menjadi santri mahasiswa bukankah suatu yang luar biasa? Dimana santri mahasiswa yang tetap menjadi mahasiswa dengan tanpa meninggalkan ekstensi kesantriannya juga menjadi santri tanpa mengabaikan kodratnya sebagai mahasiswa.
Penguasaan dimensi profane yang terwakili dengan penguasaan iptek, dan dimensi sakral yang diwakili iman dan taqwa adalah suatu tindakan yang tidak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, keberadaan pesantren menjadi partner yang ideal bagi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan kualitas pendidikan sebagai basis pelaksanaan transformasi social melalui penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan berakhlakul karimah yang menekankan nilai-nilai religious moderat yang mencerminkan nilai Islam Rahmatal Lil Alamin.
Sebagaimana dawuh KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah yang selalu diutarakan dalam berbagai kegiatan yakni: “Jadilah kalian santri yang intelektual dan intelektual yang santri, berfikir modernis dan berhati sufistik.” Menjadi pelajar, menjadi cendekiawan, menjadi ilmuwan, konsultan, guru, dokter yang ala santri, dll. Setiap kegiatan diorentasikan untuk mewujudkan mahasiswa yang beretika ala santri supaya bisa menjadi key person agar mempunyai keberagaman inklusif dan penyejuk dunia, rahmatal lil alamin.
Persatuan santri dengan kejelasan jati dirinya diharapkan memberikan nuansa baru dalam dunia aktifis mahasiswa, memberikan warna dan nuansa tersendiri dalam wahana yang ada. Forum seperti ini seharusnya menjadi momentum guyub bersama para santri untuk meneguhkan jati diri dan peran sertanya untuk membuat acara-acara yang bermanfaat dilingkup dunia perkuliahan.
Banyak sekali para santri ketika memasuki dunia perkuliahan sering kali membuat mereka lupa akan jati diri seorang santri. Semestinya, menjadi mahasiswa bukan berarti melunturkan jati diri santri, akan tetapi jati diri santri pada diri mahasiswa akan mengembangkan potensinya dalam masyarakat.
Dengan hadirnya mahasiswa dari dasar jurusan berbagai perguruan tinggi yang berbeda-beda telah melahirkan berbagai macam konsep pemikiran, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri yang sekarang telah menjadi mahasiswa atau yang telah dikenal sebagai mahasantri.
Kata “santri” harus senantiasa melekat pada diri santri mahasiswa, karena dengan mengingat kata “santri” akan menjadikan santri mahasiswa selalu berfikir kritis, tidak lagi beroreantasi bedonisme (berhura-hura, foya-foya, kesenangan belaka), tidak lagi terjerumus dalam kerugian yang besar, tidak akan pula tertarik mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutinitas pacaran saja (dating routine), nongkrong (hangout), nge-gosip tanpa memperhatikan perubahan-perubahan yang selalu up to date dan meng-up grade di negeri ini, maka seyogyanya santri mahasiswa tidak merupakan generasi “gagal product” yaitu generasi yang telah terbuai, tenggelam, dan mengabaikan terhadap tugas serta tanggung jawab sebagai mahasiswa yang menyandang gelar “santri.”
Nursolichis Majdid berpendapat mengenai kata “santri” yaitu “sastri” bahasa sanskerta yaitu melek huruf (membaca dan menulis), “cantrik” berarti orang yang selalu aktif mengikuti aktifitas mendampingi dan tinggal bersama guru, karena budaya pesantren masih memelihara system hubungan antara guru dan murid yang berlangsung seumur hidup bagi kyai maupun santri. Perasaan hormat dan kepatuhan murid kepada gurunya berlaku sangat mutlak dan tidak akan putus, karena apabila santri memutus hubungan dengan gurunya sendiri dianggap sebagai aib paling besar, dan berakibat hilangnya kebarokahan dari guru dan ilmu pengetahuan yang tidak manfaat. Bagi santri adalah “tabu” bahwa ia “bekas santri”.Semua santri harus menanamkan sikap tawadlu’ terhadap sang kyai, begitu pula ketika kita sudah menjadi mahasiswa sikap tawadlu’ terhadap dosen pun wajib hukumnya. Begitulah seharusnya mahasiswa milenial berkarakter santri. Sebagaimana dawuh KH. Ahmad Yasir “ojo dadi santri meri, ojo dadi santri trayoli, dadio santri sejati!”.