Inspiring Menulis – Saat ayam berkokok, maka para malaikat telah berbaris dan melihat kita semua dengan segala aktivitas masing-masing. Hati ku berfikir untuk selalu menyebut namaNya dalam keadaan apapun itu, aku tak terbangun namun saat suara geteran pagar berbunyi ku berdiri dan berlari mengambil wudhu tuk bergegas menuju rumahNya, dengan santai ku alunkan sholawat nabi di setiap langkah kaki ini, hingga langkah terakhirku di lantai masjid indah itu.
Setelah beberapa menit aku di sana, fikiranku masih terenyuh pilu namun tetap ku coba tuk menata semua keadaan itu dengan hati ikhlas. Dengan hadirnya dua malaikat terbaik, ku yakin bahwa kebahagiaan sejati itu ada, terutama karena abi yang selalu mengingatkanku dengan segala hal yang membuatku ingat kepada cinta sejatiku dan selalu mendukung semua hal yang kuminta.
Saat itu, satu permintaan yang tak mudah tuk abi nyatakan dengan kata “iya” dan “tidak”, namun ku tahu dalam hati abi akan berkata iya, hingga di suatu malam saat kami asyik melihat berita di layar kaca, aku bercerita padanya.
“Abi tahu ga, tadi ada yang bertanya pada kakak apakah kakak akan malanjutkan ke pondok atau tidak, terus beliau juga bilang, (“emang ayahmu gajinya berapa?, kamu enggak kasihan liat orang tuamu susah?, kalau jadi anak itu harus nurut bukan malah bikin orang tuamu yang menuruti keinginanmu, nyadar diri kalau mau sekolah di tempat bagus, kamu boleh punya mimpi tapi juga jangan lupa lihat keadaan keuangan juga”) katanya begitu abi!”
Mendengar kata itu, abi terdiam sejenak, dan ku fikir mungkinkah kata-kataku tadi membuat abi bersedih, jika iya kuharap abi tak marah padaku, namun keyataannya berbeda, dan sungguh aku bangga dengan jawaban abi, “Kak jangan pernah kakak dengar kata- kata apapun dari siapa saja jika itu tak bermanfaat buat kakak, biarlah mereka bicara seperti itu, memang mereka siapa, berani melarang kakak, sudah jangan sedih, masalah biaya itu pasti akan ada, kan yang biayain kakak itu abi bukan dia” Abi berkata dengan nada bicara yang membuatku hatiku tenang, “Iya Bi, kakak percaya, makasih Bi” Ku jawab dengan rasa bangga dan kini ku yakin bahwa pilihanku tak salah dan aku semakin percaya bahwa abi akan selalu mendukungku.
Setelah percakapan beberapa menit itu aku berdiri dan mengambil air wudhu, segera kucurahkan isi hatiku kepadanya, dengan rasa sedih yang tak tertahan ku bendung berbagai rasa sakit hati ini hingga tak ku sadari telah basah seluruh kain putih yang menutupi seluruh auratku. Setelah beberapa rakaat selesai tanganku meraba buku suci kebanggaan agamaku itu, dan mulai ku baca huruf demi huruf dan ku alunkan bacaan itu dengan merdu, hingga hatiku terasa tenang.
keesokan harinya aku masih pergi ke sekolah, meski di sekolah sudah tidak ada jam belajar, namun kami masih di anjurkan untuk hadir, karena kami semua memiliki satu acara besar di akhir tahun ini, yaitu yudisium akhirussanah madrasah ibtidaiyah, dan sebelum hari itu mulai aku dan teman-teman sudah memulai latihan, aku hanya diam namun tetap mengikuti latihan dengan baik, akhirnya jam sekolah pun berakhir, ku lihat langkah kaki umi menuju ke arahku, dan beliau mengajakku tuk menuju ruangan kepala sekolah demi meminta izin akan kepergianku yang mendahului kelulusan.
Kini kami masih berada di dalam ruangan, dan di sela-sela percakapan antara umi dan Bu Himmmah, tiba-tiba beliau bertanya kepadaku, “ Ra kamu siap untuk masuk pondok?, dan Kamu sudah yakin untuk melepas semua hasil kelulusan pendaftaran kamu di dua sekolah kemarin?” Aku menjawab pertanyaan beliau dengan tegas, “Iya bu, insyaallah saya siap”
“Lalu bagaimana dengan dua sekolah yang sudah kamu ajukan pendaftarannya kemarin?, kamu enggak lihat teman-teman kamu yang belum bisa lolos di sekolah itu mereka sangat berharap sekali bisa sekolah di sana, tapi kamu yang sudah diberi kesempatan itu malah menyia-nyiakannya” Bu Himmah bertanya.
“Bukan begitu Bu maksud saya, tapi insyaallah ini sudah menjadi keputusan terbaik saya, sekarang saya hanya ingin meminta do’a dan ridha dari Bu Himmah” Aku mencoba untuk berani berkata dengan ringan. Memang aku sendiri merasa bersalah jika teringat bahwa sudah dua sekolah yang aku tolak, namun itu semua karena aku merasa yakin bahwa pilihan terakhirku ini akan menjadi pilihan terbaikku.
Sebenarnya mendengar kata-kata dari Bu Himmah itu membuatku teringat jika satu minggu yang lalu aku memang sudah mengecek dua sekolah yang akan menjadi tempat lanjutan pendidikanku setelah aku lulus dari MI, namun di pertengahan hari, abi mengajakku pergi ke pondok, dan saat mata dan hatiku mengenal tempat itu, aku merasa jatuh hati hingga ku yakin aku dapat menjadi seperti mereka yang senantiasa terlindungi dari segala keburukan yang ada di luar, namun saat perjalanan pulang aku mendapat dua kabar sekaligus dari teman-temanku bahwa hasil kelulusan pendaftaran siswi baru di MTSN dan pesantren Akselerai itu sudah keluar, mendengar hal itu hatiku menjadi galau dan semakin bimbang ditambah lagi saat abi dan umi memiliki pendapat yang berbeda.
Umi berpendapat jika aku sekolah di MTSN, maka aku bisa mendapatkan beasiswa, namun abi tak berkomentar dengan hal ini hanya bersyukur karena banyak sekolah yang menerima hasil tes dan rapotku, setelah hari itu abi menyuruh ku untuk segera istikhara, namun aku masih saja mengurung diri di kamar, hingga akhirnya usai sudah kesempatanku untuk mendaftar ulang, namun setelah kejadian itu kini umi sudah mulai dapat menerima keputusanku.
Hingga hari ini tiba, setelah perizinan ini aku akan segera berangkat untuk mendaftarkan diri menjadi seorang santri. 6 jam telah ku habiskan untuk melakukan pendaftaran dan melengkapi segala kebutuhanku di pondok, maka setelah hari ini aku akan menjalani hari-hariku di pondok mungkin sampai hari penentuan kelulusan ku menjadi santri, tiga minggu setelah itu abi dan umi datang menjengukku untuk mengantarkan ijazah MI, tanpa ada harapan apapun, semua yang telah kulakukan berbuah manis umi hanya berkata “Selamat ya kak, tahun ini kakak memang tak mendapat piala untuk peringkat pertama ataupun kedua, namun kakak sudah berhasil melampaui semua yang tak dapat teman-teman raih” Aku mendengar dengan mata yang hampir berkaca-kaca “Memang kakak dapat apa?” kataku, “Tahun ini kakak menjadi siswi dengan hasil nilai Ujian Nasional terbaik” Umi pun berkata dengan perlahan, memang semua nikmat tak dapat dipungkiri. Mungkin aku tak dapat memberi apapun kepada abi dan umi, tapi ku harap do’a dan semua hasil suksesku kan menjadi kebahagian yang tak ada duanya untuk mereka.
*****
Dua bulan telah berlalu aku tak pernah sedih saat abi dan umi pulang meninggalkanku sendiri setalah kabar bahagia itu menjadi satu energi baru untukku, bagiku tempat ini telah menjadi rumah keduaku, dan saat hari ini tiba, tak ada wajah kedua orang tuaku di sana, karena memang aku tak pernah memberi kabar kepada mereka, namun itu semua bukan karena aku tak sayang tapi karena selama di sini aku tak pernah menyisakan sedikit uangku untuk telpon di wartel dan memang aku ingin menjadikan kerinduan ini sempurna nan tertuang dalam hasil kelulusanku.
Syukur ku tak akan dapat ku utarakan selain bibir ku yang telah basah dengan berbagai lafadz Allah; tasbih, tahmid dan takbir ini, beberapa jam aku menunggu dengan hati cemas, dan bercampur antara bahagia hingga sedih dengan melihat beberapa teman yang lulus diterima menjadi santri namun juga ada beberapa teman yang belum mendapat kesempatan untuk lulus karena dari ribuan santri hanya setengah dari kami yang lulus ujian.
Untukku sendiri, rasa tegang menjalar dalam hati nan fikiranku saat menunggu detik-detik nomorku disebut dan merasa sedikit cemas saat tak tertera nomor urut pendaftaranku di beberapa cabang, namun setelah beberapa menit akhirnya nomorku terpanggil pada urutan cabang ke-lima yang tepatnya pondok itu berada di lokasi terjauh dari cabang-cabang pertama dan kedua, sungguh memang bukan itu yang kumau namun aku berharap tempat itu dapat menjadi yang terbaik untukku.
Dalam keadaan bahagia ini, salah satu temanku mengizinkanku dengan meminjamkan handphone sehingga aku dapat memberi kabar gembiraku kepada kedua orang tuaku, dan alhamdulillah mereka sangat menerima hasil kelulusanku dengan baik, kadang aku berfikir hal ini biasa namun kenyataannya semua itu tak semudah yang ku rasa, karena hal yang menyakitkan juga hadir pada kehidupan teman-temanku yang belum mendapatkan kesempatan sepertiku, maka sangat tak pantasnya aku jika masih bermalas-malasan.
Pada pertengahan Ramadhan, kami semua sudah diizinkan untuk meninggalkan pondok dan pada tanggal 10 syawwal kami sudah dianjurkan untuk segera kembali di pondok yang sudah di tetapkan untukku, dan saat hari itu tiba, kaki ku berpijak di tanah jihad sejati, kuingat semua ini dapat menjadi satu tahap pembukitianku untuk beliau.
Tak terasa waktu semakin berlalu dan berjalan sesuai dengan cara tuhan namun setiap jalan tak akan pernah bersih dari batu dan jurang yang curam, aku yang memang berasal dari keluarga sederhana jauh berbeda dengan banyak temanku dan mungkin aku termasuk di antara golongan yang berada di bawah rata-rata, namun semua itu tak membuatku berbeda dari mereka, bahkan ku selalu mencoba tuk memiliki kisah indah yang hebat.
Di tahun kedua ku berada di sana waktu terasa sangat indah dengan berbagai kabar bahagia dari rumah namun tak ku sadari untuk pertama kalinya aku menangis di hadapan abi, karena biaya sekolah yang masih menunggak aku sedih, namun alhamdulillah Tuhan datangkan kekuatan dari teman-teman yang bersedia membantuku hingga ku dapat mengikuti ujian demi ujian, nyatanya kejadian itu berulang di tahun ketiga hingga pada kenyataannya kami sekeluarga kehilangan surga bahagia yang telah mereka bangun. Ku harap suatu saat semua akan kembali di surga abadi.
Semua itu tak kunjung berakhir, hingga jurang dalam menghadang di tahun keempat, dimana ku mendengar kabar bahwa abi sudah pindah dari pekerjaan lamanya dan tak lama dari itu, masa libur datang aku semakin sedih karena kondisi abi yang semakin menurun pada kesehatan abi, karena tak ada penghasilan yang didapat hingga semua tabungan pun mulai menipis untuk biaya kesehatan abi dan sebagainya, akhirnya umi mencoba berjualan donat, namun semua itu tak dapat bertahan lama dan umi pun berinisiatif untuk mencari sesuatu yang lain yakni satu makanan ringan namun banyak peminatnya dan itulah yang menjadi pengahsilan utama umi hingga kini, martabak surabaya dan beberapa gorengan lain. Dulu semua usaha umi hanya kecil-kecilan namun kini umi mulai untuk menitipkan beberapa gorengan pada warung kopi, hingga datang beberapa pesanan yang kian bertambah dari hari ke hari.
Tak terlepas dari itu, abi pun akhirnya hanya bisa mendukung umi, di samping abi menunggu panggilan kerja, namun hingga 3 tahun berlalu ujian datang tak disangka dan semua itu bak pelajaran terpenting untuk membesarkan hati dan lebih mensabarkan diri, walau kami belum tahu kapan semua ini berakhir. Pada tahun keenam ku berada di pondok, biaya demi biaya yang diajukan semakin banyak, aku tak sanggup tuk meminta pada mereka, sudah cukup mereka pusing tuk mencari sesuap nasi, dan tak akan lagi ku tambah dengan semua beban biaya dari sekolahku.
Di sepertiga malam ku hanya dapat mengadu pada illahi dengan suara lirih ku utarakan kesedihanku, dan alhamdulillah tak lama dari itu ada seorang teman berkata “Ra ada ibu-ibu ingin menemuimu” aku hanya berfikir dan berkata “Iya terima kasih infonya” Aku pun bergegas menemuinya, walaupun dalam hati aku tak tahu siapa dia.
Saat langkah ku berhenti di depannya, dan ku sapa “Assalamualaikum Tante mencari saya?” Ku menyapa sambil salam dan mencium tangan beliau “Waalaikumsalam, iya saya mencari Ukhti, ini dengan ananda Aira Putri?” Aku menjawab sambil bergumam “Iya Tante ada apa ya?” Akhirnya beliau memberi keterangan “Begini Ukhti, karena mendengar bahwa ujian kegiatan kelas enam sudah akan berakhir, ini tante mengantarkan perantara dari seseorang yang ingin membantu Ukhti untuk pelunasan biaya kelas enam, alhamdulillah semua sudah lunas, insyaallah tabungan Aira masih utuh dan karena masih ada sisa dari dana itu maka tante masukkan ke tabungan, jadi tante harap semoga itu semua dapat membantu Aira, tante berdo’a semoga Aira dapat menjadi alumni yang bermanfaat ilmunya amin, setelah ini tante izin pamit, maaf kalau buru-buru, wassalamualaikum”
Akupun masih tak menyangka dengan kabar bahagia ini, “Iya tante terima kasih untuk semua kebaikannya, semoga Allah mengganti dengan balasan sebaik-baiknya balasan, amin waalaikum salam ” Syukur alhamdulillah, aku masih merasa tak menyangka dengan semua itu, pondok telah mendidikku dengan baik, bahkan kali ini Allah hadirkan pula nikmat untukku.
2 minggu kemudian kami semua pergi dan meninggalkan pondok tercinta, entah mungkin aku akan kembali atau akan pergi tuk selamanya, namun setelah pengumuman itu berakhir namaku terpanggil pada panggilan pertama, setelah beberapa taujihat berakhir, ku berjalan keluar ruangan dan terus berjalan dengan hati bahagia serta yakin bahwa ini yang ku inginkan, dan dari berbagai barisan wali santri di ujung jalan ku tertangkap kamera oleh sosok yang sangat ku sayang , ternyata beliau di sana namun ku tak dapat berhenti hingga akhirnya beliau yang bertanya “Kakak dapat pengabdian dimana?”, aku hanya berkata “Alhmudulillah di dalam (di pondok) Umi,” mendengar itu umi pun berucap syukur “Alhamdulillah.” Memang pengabdian pondok salah satu harapan abi dan umi dan aku juga masih ingin menjadi pendidik seperti guru-guruku yang dulu, yang tak pernah lelah dan ikhlas dalam melaksanakan amanah.
Alhamdulillah, tak terasa kini semua itu telah berlalu dan aku dapat menjawab semua cela dan hinaan mereka, ku rasa semua itu tak merobohkan usaha dan perjuanganku bahkan telah menjadi tali penguat semua pengorbananku, kini mereka yang selalu memincingkan mata padaku, hanya dapat diam dan tak berkomentar lebih, bahkan tak menyangka jika semua impianku dapat berakhir bahagia, walaupun hanya bermodal yakin namun semua itu merubah logika yang lemah dengan tetap meminta ridha Allah. Ku harap kisahku dapat menjadi jawaban akan semua keraguan beliau terhadap mimpiku. Terima kasih dariku untuk beliau yang telah membuatku kuat dengan cela dan hinaan itu.
Gambar dari : Pexel.com