Mengungkap Cak Nur Sang Alumnus Gontor

Bagikan

Nurcholish Madjid atau sapaan akrabnya dipanggil Cak Nur, adalah sosok pemikir pembaharu Islam di era modern. Pemikirannya yang melahirkan puluhan karya patut diapresiasi. Setidaknya, pemikiran pria kelahiran Jombang ini diapresiasi oleh para santri satu almamaternya sendiri, yakni Pondok Modern Darussalam Gontor (yang lebih dikenal dengan Pondok Gontor di masyarakat).

Pada tulisan ini penulis bermaksud agar kita mencoba merefleksikan kembali bagaimana sosok Cak Nur bisa dikenang sampai hari ini di ranah masyarakat, khususnya pada kalangan mahasiswa. Dan sepengetahuan penulis sendiri, faktanya tidak banyak alumni Gontor sendiri yang mengenal Cak Nur, atau mungkin namanya baru didengar pada artikel ini.

Dan yang menjadi tujuan penulis disini adalah tidak untuk menerima pemikiran yang dicetus oleh Cak Nur tanpa melalui pintu kritis, itu hak prerogatif tiap pembaca. Akan tetapi, proses bagaimana Cak Nur melahirkan karya-karya yang luar biasa (salah satunya buku yang diterjemahkan oleh Sarjana Timur Tengah ke bahasa Arab yaitu “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan: 1987), dan pemikirannya yang melampaui zaman itu jauh lebih penting diketahui.

Alangkah baiknya, kita menyelami terlebih dahulu mengapa Cak Nur masuk Gontor dan pondasi pemikirannya hingga bisa menjadi penarik gerbong Islam modern.

Cak Nur Masuk Gontor

Pria kelahiran 17 Maret 1939 ini, sebelum menempuh pendidikannya di Pondok Gontor, Cak Nur terlebih dahulu belajar di salah satu Pondok di Jombang, yaitu Pondok Rejoso. Selama kurun 2 tahun, Cak Nur merasa tidak betah di pondok ini. Salah satu alasannya adalah karena Bapak Cak Nur, KH. Abdul Madjid bergabung Partai Masyumi yang mana corak keislamannya berbeda dengan corak Pondok Rejoso yang bernuansa Nahdhatul Ulama (NU). Merasa tidak betah di pondok tersebut, Cak Nur memilih Pondok yang tidak menganut corak keislaman yang terhubung dengan nuansa politik atau pun ormas. Maka, Cak Nur memilih Pondok Gontor yang mana tidak berafiliasi dengan partai politik dan ormas apapun. Sebuah langkah awal yang menapaki Cak Nur untuk masa depan intelektualnya.

Di Pondok Gontor inilah Cak Nur belajar dasar-dasar agama Islam. Iklim pendidikan yang diterimanya mengajarkan berpikir kritis, tidak memihak pada salah satu madzhab secara fanatik dan lebih dari itu, kemampuan berbahasa Arab serta Inggris sangat ditekankan sehingga dapat melihat dunia lebih luas. Jika dibandingkan dengan pondok pesantren saat itu, salah satu ciri menonjol Pondok Gontor adalah terlatih berpikir komparatif sehingga tidak mudah “terjebak” pada fanatisme madzhab ataupun ormas Islam.

Pondasi Pemikiran Cak Nur

Landasan pemikiran Cak Nur adalah disiplin ilmu klasik yang kemudian diintegrasikan dengan keilmuan yang modern. Semasa kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Sastra Arab (kini UIN Syarif Hidayatullah) bacaan Cak Nur tidak berhenti pada buku-buku klasik keislaman, akan tetapi buku keislaman kontemporer maupun buku-buku filsafat yang bertolak belakang dengan keislaman pun juga dilahap oleh Cak Nur. Walhasil, Cak Nur memiliki wawasan yang luas dan keterbukaan terhadap keilmuan apapun. Hal inilah yang menjadi kelebihan Cak Nur dalam mendalami intelektualitas. Sehingga, pada tahun 1968, Cak Nur berhasil mengentakkan kalangan akademisi kala itu dengan tulisannya yang berjudul “Modernisasi adalah Rasionalisasi Bukan Westernisasi”.

Dari tulisan tersebut, yang menghantarkan Cak Nur sebagai pemikir nasional. Sehingga di masa ini pun ia dikenal sebagai “Natsir Muda”. Dari sinilah para akademisi dan mahasiswa mulai mengenal Cak Nur, dan yang membuat ia lebih dikenal oleh khalayak masyarakat luas ketika Cak Nur menjabat Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dan bukan hanya itu, Cak Nur pulalah yang mencetuskan ideologi organiasi mahasiswa Islam ini dengan nama Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang mana sampai saat ini menjadi pedoman bagi para kader HMI di seluruh Indonesia. Sebuah warisan yang bermanfaat bagi intelektual mahasiswa di kemudian hari.

Suri Tauladan Cak Nur

Seperti yang kita ketahui di atas, bahwa keluasan wawasan Cak Nur membawa kepada keterbukaannya terhadap saran dan kritik. Hal ini lah yang membuat Cak Nur tegar dan berprinsip. Bahkan, Quraish Shihab pun menyebutnya sebagai Intelektual yang berani dalam menyampaikan gagasannya. Karena, ia siap untuk dikoreksi kemudian berdiskusi. Itu Cak Nur.

Selain itu kelihaian beliau dalam mengupas bahasa Arab kata per kata membuat ia berbeda dengan sarjana muslim yang lain. Dalam karya-karya nya yang membahas tentang kebangsaan, keindonesiaan, ataupun politik, Cak Nur selalu meberikan satu dua mufradat yang kemudian diinterpretasikannya dengan luwes. Itu merupakan ciri khas Cak Nur yang dapat ditiru.

Dan yang menjadi nilai plus Cak Nur juga yaitu kemampuannya mengintegrasikan nilai-nilai Al Quran dan Hadis kedalam nilai-nilai sosial, politik dan aspek lainnya. Sebagai santri, Cak Nur tidak lupa akan sumber paling otentik dalam khazanah Islam. Ia selalu mencantumkan ayat al-Quran dan hadis dalam karya-karyanya. Agar nilai-nilai keislaman dalam kedua sumber bisa diimplementasikan dengan halus di ranah masyarakat Indonesia.

Dari beberapa hal ini, sekiranya bisa menjadi refleksi kita sebagai alumni Gontor ataupun non-Gontor, bahwa membaca buku, memperluas wawasan dan berdiskusi patut dijadikan makanan sehari-hari. Juga kepekaan terhadap kondisi sosial adalah tanggung jawab kita sebagai masyarakat Indonesia terlepas itu ia mahasiswa atau bukan. Intinya, jangan sampai lupa pesan KH. Imam Zarkasy, “Andaikata muridku tinggal satu, akan tetap kuajar, yang satu ini sama dengan seribu, kalaupun yang satu ini pun tidak ada, aku akan mengajar dunia degan pena”. Maka, berkaryalah.

Alfaatihah untuk Cak Nur.

*)Penulis merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam cabang Ciputat

Sumber gambar: www.minews.id

Eh, udah tau belum GoPay ada app baru? Download deh. Dapet 10,000 Coins GRATIS pas upgrade ke GoPay Plus. Tinggal verifikasi KTP aja. Ini link downloadnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Berita Populer

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Melody Ayunan Rasa

pada kenyataannya jika tidak ada komunikasi itumungkin tidak akan ada

Peduli Palestina

Inspiring Solidarity For Palestine Rp6.656.412 Terkumpul dari Rp10.000.000 68 Donasi

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan