Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Akan tetapi, dalam realita sosial kita seringkali melihat betapa banyak orang yang melaksanakan sholat namun perbuatannya tidak menunjukkan implementasi dalil tadi. Dengan demikian, jangan sepenuhnya menyalahkan golongan-golongan yang acapkali merendahkan martabat syariah Islam. Seharusnya kita lah yang merenung dan berpikir, apa yang membuat umat ini semakin terombang-ambing dan kehilangan arah.
Tuhan tidak akan memerintahkan suatu hal tanpa ada manfaat di dalamnya. Sama halnya, Ia tak akan melarang sesuatu melainkan ada mudharat (bahaya) di dalamnya. Manusia sebagai sebaik-baik makhluk diwajibkan untuk menaati perintah-perintahnya, dan menjauhi larangan-larangannya, serta merenungi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan.
Al-Qur’an berulang kali menyebutkan perintah sholat dengan bentuk أقيموا الصلاة atau أقم الصلاة yang artinya “dirikanlah sholat”. Perintah sholat tidak langsung menyebutkan kata perintah dari sholat itu sendiri; seperti sholli ataupun shollu yang artinya “sholatlah atau laksanakanlah sholat”. Penambahan kata aqim ataupun aqīmu tentu memiliki makna tersendiri, sebagaimana kita tahu bahwa tak ada satu huruf pun dalam Al-Qur’an yang tak memiliki nilai dan makna.
Ketika perintah itu berbunyi sholli atau shollu, maka substansi dari perintah tersebut adalah perbuatan sholat itu sendiri. Artinya, selama syarat dan rukunnya terpenuhi, maka sholatnya sah dan telah gugur kewajiban sholat atasnya. Mengenai tambahan kata “aqim” ataupun “aqimu”, Imam Al-Qurthubiy memberikan komentar bahwa arti kata di atas adalah “bersambung dan sempurna”.
Para sufi memberikan arti lebih luas dari penjabaran para fuqaha’ dan mufassirin. Jalaluddin Rumi misalnya, Ia pernah ditanya oleh seorang pemuda “Adakah cara yang lebih ampuh untuk mendekat kepada Tuhan melebihi sholat?”, Rumi menjawab “Sholat itu sendiri”. Pemuda itupun bertanya kembali, “Bagaimana maksudmu?”, Rumi menjawab “Ketika sholatmu adalah ritual fisik, maka ia pasti memiliki permulaan dan akhir. Akan tetapi ketika sholatmu melebur dalam ruh, maka ia akan kekal dan takkan musnah. Jadikan setiap awal pekerjaanmu adalah takbir (pengagungan kepada Tuhan dengan melepaskan segala egoisme), maka ia akan berakhir dengan salam (keselamatan dan keberuntungan). Dengan begitu, cahaya Tuhan akan memancar dalam setiap langkah dan ucapanmu”.
Dari percakapan di atas, kita diajak untuk berfikir dan meresapi lafadz dan gerakan di dalam sholat. Dalam takbir misalnya, kalimat Allahu Akbar sejatinya menggiring ruhani kita untuk mengakui betapa kecilnya diri ini dihadapan-Nya. Kemudian dilanjutkan doa iftitah yang salah satu lafadznya adalah “inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin” sebagai puncak ketidakberdayaan dan kepasrahan seutuhnya kepada Dzat yang Maha Agung nan Perkasa. Lalu bacaan Surat Al-Fatihah yang berisi tentang permohonan akan pertolongan dan petunjuk-Nya agar kita terhidar dari kesesatan, serta murka dan siksa-Nya. Rukun-rukun setelahnya, seperti ruku’, i’tidal, dan sujud berisi puji-pujian kepada-Nya sebagai harapan agar kita senantiasa dekat dengan-Nya. Lalu ketika duduk tahiyat, kita akan membaca dua kalimat syahadat yang merupakan pintu satu-satunya menuju kebahagiaan yang abadi. Tak ada satu pun manusia yang akan selamat, kecuali dengan meng-esakan Allah SWT dan pengakuan atas kenabian Sayyiduna Muhammad SAW. Dan pada akhirnya, kita akan sampai di pulau harapan, yakni Ridho Allah SWT atas diri kita dengan salam (keselamatan dan keberuntungan).
Dengan demikian, sholat bukan hanya sebatas ritual fisik. Akan tetapi, ia adalah gambaran utuh dari siklus kehidupan seorang hamba untuk menggapai dan mewujudkan kehidupan masyarakat madani. Mengapa problematika hidup terasa semakin konkrit dan rumit? Karena kita masih seringkali menganggap bahwa syariat hanyalah sebuah ritual dan simbol keagamaan semata. Padahal, agama merupakan solusi dan jalan keluar dari sekian kejumudan dan kebodohan.
Image from pexel