Meremajakan Naskah Kuno Nusantara

Bagikan

Segala ilmu pengetahuan dan tradisi kebudayaan di lingkungan tidak serta merta muncul dari olah pikir masyarakat modern. Mereka sejatinya telah mewarisi nilai dan fungsi yang termaktub dalam peninggalan nenek moyang. Kisah-kisah seperti kehidupan rukun beragama, berdagang, sampai menghitung “bintang jatuh” diperoleh dari warisan ilmu nenek moyang.

Dari pernyataan ini tersirat bahwa generasi pendahulu kita bukan generasi buta aksara apalagi bodoh intelektual. Sebaliknya, justru mereka sangat modern sesuai konteks zamannya, dan futuristik. Mereka juga peduli akan nasib keberlangsungan hidup generasi modern (kita saat ini). Misal, mereka mewariskan ilmu pengetahuan dalam bentuk tulisan tangan atau yang sering disebut sebagai manuskrip.

Manuskrip sendiri berasal dari bahasa Inggris “manuscript” yang berarti tulisan tangan. Atau memiliki nama lain naskah, yang selanjutnya lebih dikenal kalangan pelajar Islam atau pesantren. Ilmu khusus yang mengkaji isi tulisan tangan kuno disebut filologi. Di Indonesia jumlah filolog (peneliti filologi) terbilang sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah manuskrip yang bertebaran di penjuru negeri.

Sebelum membahas upaya preservasi naskah kuno, maka perlu ditentukan terlebih dahulu definisi dari naskah kuno tersebut. Dalam Undang Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Pasal 1 Ayat 4, naskah kuno atau yang juga dikenal dengan manuskrip adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan.

Atau menurut UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 pada Bab I pasal 2 disebutkan bahwa naskah kuno atau manuskrip merupakan dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis tangan atau diketik yang belum dicetak atau dijadikan buku yang berusia 50 tahun lebih. Jadi, ukuran standar bisa dikategorikan sebagai naskah kuno adalah berusia minimal 50 tahun.

Adanya tuntutan untuk merawat naskah kuno berawal dari rasa penasaran manusia yang ingin tahu sumber asal ilmu dan tradisi yang mereka yakini dan praktikan. Jasa filolog sangatlah besar bagi estafet ilmu pengetahuan, bahkan semua jenis ilmu. Pasalnya, filolog mengkaji dan mengklasifikasi suatu naskah sesuai tema dan jenis disiplin ilmu yang ada. Sehingga, para peminat atau peneliti bidang ilmu lain, seperti sejarah, antropologi, dan sebagainya memiliki pijakan penelitian atas berkat jasa filolog.

Saking pentingnya peran filolog, bisa jadi ilmu pengetahuan yang saat ini kita pelajari hanyalah mitos atau qiila wa qoola (dalam bahasa Arab artinya katanya) yang belum jelas sumber muara ilmu itu muncul.

Upaya Preservasi Naskah

Selain peran besar filolog dalam menjaga naskah secara personal, mereka juga butuh wadah yang menjamin naskah itu tetap hidup abadi. Sebagai konsekuensi perkembangan zaman yang serba menghadirkan kemudahan, maka muncullah metode preservasi (perawatan) naskah yang lebih modern, yakni digitalisasi naskah. Sebut saja Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA), Manassa, Manuskrip Nusantara, Khasanah Pustaka Nusantara (Khastara), Endangered Archives Programme (EAP), dan sebagainya yang berjuang mendigitalisasi naskah.

Upaya digitalisasi naskah kuno bertujuan untuk merawat dan meremajakan kembali naskah kuno yang kondisinya terbilang cukup rusak hingga rusak parah. Namun, masyarakat luas mendapat fasilitas berupa teks yang siap baca (tentu harus memiliki kemampuan membaca aksara sesuai bahasanya) melalui situs-situs tersebut.

Dalam aspek pengalaman, tentu filolog yang terjun langsung di lapangan akan memiliki kesan tersendiri saat meneliti sebuah naskah. Karena mereka akan menemukan banyak tantangan, mulai dari naskah sakral yang sedikit sekali memperoleh izin akses untuk sekedar dibaca oleh filolog atau difoto demi kepentingan digitalisasi. Hal itu disebabkan naskah tersebut masih dipegang oleh pewaris yang memang tidak diperbolehkan untuk diketahui orang banyak.

Hal-hal unik juga terdapat dalam naskah kuno, yang berbeda dengan pengertian naskah modern, seperti gulungan kertas biasa. Dalam naskah kuno memiliki keunikan berupa segi fisik dan misi (matan). Fisiknya tidak hanya berupa kertas, namun ada juga daun-daun atau kulit kayu yang ada di era itu. Kertas yang digunakan juga biasanya berupa kertas Eropa, dan itu pun hanya segelintir yang menggunakannya, biasanya kalangan bangsawan atau orang kaya.

Butuh Kesadaran Kolektif

Hari ini Jumat (26/11/2021), adalah puncak penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2021. Dalam sambutan pada pembukaan, Presiden Jokowi berpesan dan menegaskan bahwa banyak hal yang dapat dipelajari dan dirujuk dari ilmu pengetahuan dan kearifan masa lalu karya nenek moyang bangsa (Kompas.com, 21/11/2021).

Hal ini menjadi dukungan sekaligus cambukan agar tiap individu dan komunal peduli akan warisan nenek moyang. Dengan kata lain, tidak hanya melek literasi modern, namun juga melek literasi sejarah serta warisan leluhur.

Sayangnya, aliran dana bantuan untuk mengadakan penelitian naskah kuno justru lebih getol dilakukan oleh lembaga luar negeri ketimbang pemerintah Indonesia. Padahal, aset besar berupa naskah kuno berasal dari Indonesia, dan kemungkinan terjadi rawan informasi dan kekayaan khazanah Nusantara akan diketahui pihak luar, yang berpotensi disalahgunakan.

Keprihatinan ini juga disambung dengan nasib naskah kuno Nusantara yang dianggap kurang keren bagi kalangan masyarakat modern Indonesia. Apabila kita bandingkan dengan Jepang, fakta yang unik di sana justru mereka menjaga naskah kuno dengan mengampanyekan melalui visual hiburan seperti kartun, sebagaimana kita ketahui dalam beberapa adegan kartun Jepang yang menampakkan gulungan naskah kuno.

Meski semangat menjaga naskah kuno agar tetap eksis di era modern serba digital saat ini kurang begitu bergairah, tapi masih ada harapan dan kesempatan untuk meremajakan kembali naskah kuno yang bertebaran atau pun tersimpan di galeri pribadi yang belum tersentuh. Peluang mahasiswa pengkaji filologi membudayakan kembali manuskrip sangat besar, seperti melalui kanal Youtube atau media sosial lainnya. Tentu dengan uraian dan pendekatan non-teoritis agar mudah dipahami masyarakat umum.

Hingga nanti pada kelanjutan diskursus keilmuan di kalangan akademis, bahkan perdebatan ilmiah kembali bersumber kepada referensi yang sangat primer, yakni naskah kuno. Dan tidak ada lagi klaim-klaim atau sebaran informasi yang tidak jelas sumber rujukannya. Minimal, meski ilmu itu dikaji tanpa melalui naskah kuno, setidaknya masih ada semangat mendalaminya dengan merujuk kepada sumber primer. Begitulah prinsip kerja filologi!

Dapatkan Promo spesial sekarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan