Terorisme ‘Jihad’ Tiket Surga ?

Bagikan

Inspiring.my.id – Kejahatan aksi yang dilakukan oleh beberapa oknum dan tergabung dalam kelompok terorisme telah merugikan masyarakat. Dalam beberapa forum diskusi gencar aksi ini dikaitkan dengan pemahaman radikalisme. Radikalisme sendiri berasal dari kata ‘radic’ yang berarti akar, sedangkan dalam penerapan di masyarakat, radikal berarti seseorang dengan pandangan ingin mengubah pandangan politik yang ada sesuai dengan kepentingannya.[1]

Aksi kejam teroris yang kerap memakan korban jiwa dan tak sedikit menghancurkan tempat sekitar sering diakui sebagai seruan agama, padahal tidak. Agama menyerukan perdamaian dan kasih saling antar sesama. Adapun untuk masalah perbedaan agama juga telah diatur sedemikian rupa, misal Islam memuliakan tetangganya yang bukan muslim karena itu aspek bersosial.[2]

Melakukan aksi keji dengan berdalih agama sangat jauh dari pesan agama tersebut, apalagi mengatas namakan Tuhan. Bagi Islam, hal ini sangat jauh dari tahapan mengenal Allah. Bahkan hal ini bisa tergolong berbuat tidak sopan kepada Tuhan, seperti kata Prof. Dr.hamka, dalam kitab Falsafah Hidup, “Karena Tuhan lebih tahu bahwa waktu kita mengerjakan kejahatan itu bukanlah datang daripada sengaja hati kecil kita. Kejahatan hanyalah nafsu, hati kecil sendiri pun masih tetap menegahkan, seketika kita perbuat itu”.[3]

Seolah-olah agama menjadi alat jual propaganda yang sangat diminati oleh banyak orang. Terorisme ingin membuat kepercayaan masyarakat bahwa Tuhan menyukai kekerasan, tanpa ada jalur  kompromi. Kalau lah para pelaku teror paham bahwa perbuatannya justru menghinakan agama, tidak akan mungkin kejahatan ini terus berkembang. Namun, sayang seribu sayang, minimnya pengetahuan beragama sehingga menyebut usaha mereka termasuk ‘Jihad’ membutakan nurani mereka sebagai manusia.

Adapun motif terorisme yang dipetakan oleh Leebarty Taskarina, salah satunya adalah fundamentalisme. Pengertian Fundamentasi adalah suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan baik yang bersifat agama, politik, maupun  budaya yang dianut oleh pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam sejarah.[4]Fundamentalisme sangat berbahaya apabila disebarkan dan dikembangkan, apalagi kalau objeknya merupakan kaum yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, sangat rentan terhadap doktrin baru yang dianggap sebagai misi ketuhanan, terorisme dan ‘Jihad’ fana.

Bagaimana cara mencegah paham ini masuk ke lingkungan sekitar ?. Rumah dan rumah tangga sangat berperan dalam hal ini. Peran orang tua yang mengajarkan pendidikan agama yang matang dan cara bersosial ramah terhadap tetangga menjadi tumpuan dasar untuk sang anak kelak terjun di masyarakat. Maka pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat.[5]

Perempuan Terlibat, Korban atau Pelaku ?

            Tentu saja pelaku teror tidak bergerak sendirian, pasti ada jaringan di belakang semua pergerakannya. Terlebih lagi bagi teroris yang telah berkeluarga, mereka pasti membutuhkan peran keluarga demi kelancaran aksinya. Sebagaimana dikutip dari Analis Data Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Leebarty Taskarina. Sosok istri kerap kali dijadikan sang suami sebagai mediasi informasi, bahkan menutupi jejak kriminalnya.

Ironisnya, kebanyakan dari istri tidak mengetahui apa yang sedang digeluti oleh suami, walaupun sebelum menikah diketahui posisi suami sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang). Dalam penyelidikan, Leebarty berhasil mewawancarai dua orang istri buronan polisi dalam kasus terorisme. Sebut saja Umi Dahlia dan Umi Yazid, mereka berdua dari latar belakang berbeda tapi berakhir dalam jurng tragis yang sama, keduanya menjadi korban aksi terorisme suami. Umi Dahlia sebagai istri Bimo (pimpinan kelompok teroris) yang menjadi korban rayuan suami akibat kenaifan sang istri, tatkala ketika dipinang sebagai istri kedua dan sirri, ia hanya menuruti apa kata suami sebagai kepatuhan istri terhadap suami, di sisi lain ia belum tahu sama sekali kegiatan di luar suami.

Kemudian Umi yazid, istri dari Fadil (sosok pengganti Bimo pascca tewasnya). Ia memiliki basis moderasi kemasyarakatan yang sangat kuat, tapi lagi-lagi menjadi korban suami yang perintahnya harus dipatuhi. Keduanya menjadi gambaran bahwa sosok istri cenderung menjadi korban terorisme, bahkan sebagai korban yang terabaikan karena ikut dijebloskan ke dalam penjara[6], walaupun tidak semua perempuan menjadi korban, pasti ada sebagian yang menjadi dalang di balik aksi teror.

Terorisme Bukan Jihad

Lantas benarkah tindakan teroris ini merupakan bentuk jihad yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.?  Jawabannya tentu tidak, Nabi Muhammad sendiri diutus oleh Allah Swt di bumi sebagai penyempurna akhlak dan sebagai ‘role model’ kehidupan segenap ummat manusia, adapun dalam riwayat peperangan yang dialami beliau merupakan jihad karena agama yang disampaikan dipermainkan dan diperangi terlebih dahulu oleh musuh, bukan sebaliknya memancing musuh untuk berperang. Apabila anggapan bahwa terorisme merupakan jihad, justru mereka telah mencap diri menjadi pelopor kejahatan.

Perlunya sikap toleran, berlapang dada, dan saling menjaga komunikasi untuk mmenciptakan masyarakat yang tumbuh dalam kedamaian. Dalam menumbuhkan sikap tadi tentu harus dibarengi dengan keluasan wawasan dan keluwesan interaksi terhadap sesama. Sekat agama yang menjadi alibi pelaku teror dapat diberangus dengan mempelajari pendidikan agama yang mencakup sifat ‘rahmatan lil alamin’, karena tujuan sebenarnya pelaku teror bukanlah untuk memperjuangkan agama, tetapi lebih kepada kepentingan tertentu dengan menghalalkan segala cara dan kekerasan.

Penulis:

Abdurrahman Ad-Dakhil – Lamongan

Daftar Pustaka

[1]        Oxford Advanced Learner’s Dictionary, New 9th Edition. Oxford University Press.

[2]        “Q.S  Al-Mumthahanah : 8.” .

[3]        Prof.  Dr. Hamka, Falsafah Hidup. Republika Penerbit.

[4]        L. Taskarina, Perempuan Terorisme. PT Elex Media Komputindo.

[5]        N. Madjid, in Masyarakat Religius, Paramadina, p. 124.

[6]        L. Taskarina, in Perempuan dan Terorisme, PT Elex Media Komputindo, p. 76.

Dapatkan Promo spesial sekarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan