Adinda Riah

Bagikan

Perempuan yang satu ini cukup sederhana kalau dilihat dari pembawaannya. Menurutku ia sungguh lancip dalam hal berbicara, tetapi tidak sering ia bicara. Matanya sungguh mengagumkan, bagiku itu mata hitam yang dimiliki elang. Terlihat tajam dan membius. Bagian yang ini tidak mungkin hanya  aku seorang yang mengagumi.

Mata itu  ku dapati saat pertemuan pertama. Saat itu aku hanya dapat melihat mata dan sedikit jidatnya. Tidak cantik, tapi menarik. Mungkin itu yang disebut hitam manis. Tapi tidak, ia tidak hitam, hanya sedikit gelap. Lebih mirip sedikit dengan coklat, manis bukan?

Sesuai dugaanku, pertemuan kedua,  kesempatan kembali diberikan kepadaku. Keadaan memberikan  sedikit waktu untuk melihat wajahnya. Bibirnya hanya sekilas terlintas, hidung apalagi. Aku terpana melihat matanya, sungguh tajam menarik seluruh perhatian mataku.

Setelah itu aku putuskan untuk menjadikannya sebagai pujaan hati. Akan ku curahkan kesukaan padanya, bagaimana  memujanya, bagaimana  mengaguminya, akan ku tunjukkan sedikit dalam bentuk yang logis dan realistis.

Namanya  Riah Sialismi. Adinda Riah, begitu ia disebut. Perempuan yang misterius, dengan segala tindakannya yang  tak dapat diprediksi, ia tak bisa disamakan dengan kebiasaan perempuan pada umumnya. Apalagi perempuan luar rumah yang semua gerak serta reaksinya hampir dapat terbaca seluruhnya.

Bukan ingin menyebut dia sebagai perempuan rumahan, tidak,  ia aktif di luar rumah, tetapi aktif yang luar biasa berbeda. Tak banyak bicara, menempatkan tingkah sesuai pada waktunya. Das sein dan das sollen-nya tepat, sekilas terlihat ia bertindak bodo amat. Namun ternyata ia mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap sekitarnya.

Dalam segala bidang, asal ia dapat masuk menyelam ke dalamnya. Ia pasti ada, dan menjadi bintang. Tapi, ia tidak terkenal sebagaimana seharusnya, ia tetap sangat tertutup. Sulit untuk dikenal, kita tidak akan mengenal dia jika tak ada jalur. Misalnya, perkumpulan mahasiswa, organisasi, atau kegiatan khusus tertentu.

Maka aku sangat bersyukur dapat dipertemukan, dapat melihat, serta dapat memujanya. Ada nilai yang muncul dan sangat baik ketika mengalami ini. Rasanya kekuatan motivasi semakin meningkat. Beberapa masalah besar nampak menjadi kecil dan mudah. Inilah yang  kuanggap sebagai bibit cinta, tinggal disemai, ditumbuhkan, dirawat dan seterusnya.

Kalau mencari negatifnya, mungkin hanya pada kebatinan saja, kesusahan hati menahan rindu, dicerca oleh harapan, serta angan-angan, diserbu khayal juga ketakutan. Banyak penyebutannya, tapi itu hanya masalah perasaan saja, sedangkan dalam dunia akademis sangat jarang aku menggunakan perasaan.

Memang perasaan seringkali kuutamakan dibandingkan pikiran, tetapi momen penggunaannya hanya sekian persen lebih sangat kecil daripada penggunaan pikiran. Tentu saja ini baik dalam proses terus maju mengeruk ilmu pengetahuan di kampus. Seperti kata sahabat besarku, “dunia akademis, cinta dan organisasi harus seimbang”.

Aku sudah mendapat tempat berkembang di kampus, juga mendapat pembelajaran di organisasi. Namun perihal cinta, memang belum begitu aku rasakan. Perempuan ini mungkin “pengelola”, maksudku pengelola hati laki-laki. Artinya bisa kupastikan telah banyak laki-laki yang terpana. Bisa jadi ada yang sudah menjadi hebat karenanya, tidak menutup kemungkinan juga ada yang bertaruh mati hatinya.

Pada zaman ini memang pas, dan memang momennya perempuan.  Mengapa demikian? Tapi aku sedang tak ingin membahas perempuan lain. Saat ini hanya ada Adinda Riah bertengger di kepala seperti burung gagak, mencengkeram sebagian isi kepala dan mematuk-matuk hatiku.

Kami bertemu di acara dakwah, perkumpulan dakwah tepatnya. Tiga hari yang lalu Adinda Riah membagikan kalimat-kalimat motivasi kepada perempuan generasi di bawahnya. Katanya “tidak terbatasi bagi kita untuk menggapai ilmu pengetahuan“. Hanya sekian kata itu yang sekilas aku dengar, aku sibuk melihat hitamnya.

Kerudung, cadar, dan gamis, semuanya berwarna hitam. Kagumku semakin menjadi-jadi. Mana mungkin hanya aku seorang yang melihatnya sebagai referentasi bidadari. Pasti ada, satu, orang-orang disekitarnya, dua, orang-orang disekitarku. Atau tiga, semua orang yang telah melihatnya.

Di tengah memandanginya, aku dialihkan seorang kawan, “dia itu limited edition“, begitu katanya. Baru satu orang yang mengaguminya, dia lelaki dari sekitar Adinda Riah. Yang paling membuat pedih hati adalah cinta di dalam batinku. Berontak menolak sikapku yang biasanya tak berperempuan.

Apakah harus mengikuti hatiku, atau sikapku yang satu itu. Dan aku memutuskan untuk mengikuti hati. Yang perlu ku lakukan hanya satu, menyampaikan sesuatu kepada Adinda Riah. Si hitam yang aku puja itu.

 “Coba saja dekati dia, sampai saat ini aku gagal seperti yang lain” katanya lagi.

“Siapa yang akan beruntung mendapatkannya ya?” kataku.

Aku jadi tak ingin terlalu merasa akan mendapatkan Adinda Riah. Entah kenapa sedih mendekatiku perlahan, mungkin ini yang dibilang sakitnya mencinta. Sedih karena tidak bisa, tak dapat menggapai, keinginan lebih besar dari kemampuan, mungkin itu.

Di halaman kampus ini, Adinda Riah biasanya ada, posisinya berdiri di bawah pohon akasia. Tapi mungkin sore ini tidak ada kegiatan melingkar di sana, aku akan memberanikan diri kerumahnya.

“Kanda, bisa tolong antar Dinda ke rumah?”

Aku hampir lupa, kalau rumahnya selalu ku lewati. Ternyata sejak tadi ia berdiri di dekat tembok pintu gerbang, entah memang sengaja menungguku atau bagaimana. Ku anggap saja ia telah lama menungguku.

 “Oh, iya, ayo Adinda”.

 “Memangnya cari siapa tadi Kanda?”.

Sebenarnya bisa saja aku mengungkapkan kata-kata untuk mewakili perasaanku. Namun suara susah sekali keluar, kuucapkan dalam hati, tapi ia tak mendengar jawaban kata-kata berupa suara.

Setiap ia bertanya, aku selalu menjawab, ia, hehehe, dan oh. Akhirnya ia diam tak berucap apa-apa lagi.

Ketika sampai di depan rumahnya, aku pun tak memberikan kesan baik.Terkekang. Malah ia lagi-lagi yang memulai kalimat pembuka.

 “Kanda, ayo masuk dulu, ketemu ibu”, begitu katanya.

Super sekali sebenarnya momen ini. Kegoblokan seperti apa yang tengah melilit kepala dan dadaku, kaki pun kaku. Aku tak bergerak, Adinda Riah dengan mata dan jidat yang ku kagumi meluluhkan inti kehidupan di dadaku.

“Iya, tapi sebentar saja ya Adinda, karena kanda ada janji, jadi harus kejar waktu”.

“Iya dah”.

Jawabannya itu bagiku seperti sesuatu yang melebihi dunia dan seisinya. “Iya dah”, kata itu terus terngiang di kepalaku.

“Siapa itu nak?”, ibunya sudah menunggu juga.

“Izin, tidak lama bu, antar saja, terus pulang”, begitu aku menjawab.

Adinda Riah berdiri di depanku, membiarkanku melihat matanya, mengizinkan ku menguasai jidatnya. Hatiku meledak, ia berkedip satu kali, “Kanda, datangi dinda setelah S2”.

Aku tersenyum, lalu menunduk pergi. Matanya masih dihadapanku, jidatnya masih terlihat jelas. Waktu matanya berkedip, aku mengingatnya dengan gerakan pelan. Kemudian matanya membuka lagi. Indah matanya yang tajam memaksaku untuk bertekad.

“Seluruh hidupku untukmu Adinda”.

 

image from freepik.com

Dapatkan Promo spesial sekarang

2 Tanggapan

  1. Your article gave me a lot of inspiration, I hope you can explain your point of view in more detail, because I have some doubts, thank you.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan

Kirim Artikel

Ingin menulis di Inspiring Menulis? Berikut cara mudah untuk mengirim artikel.

Berita terbaru

Masuk | Daftar

Masuk atau daftar dulu biar bisa komen, bikin konten dan atur notifikasi konten favoritmu. Yuk!

Atau Gunakan