Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam. Membaca dan mempelajarinya bernilai ibadah. Rasulullah menjelaskan orang yang paling mulia ialah orang yang mau belajar dan mengajarkan al-Qur’an. Rasulullah Saw menggambarkan seseorang yang mahir membaca al-Qur’an, ia bersama malaikat -malaikat mulia. Sedangkan, orang yang harus bersusah payah untuk bisa membaca Al-qur’an, ia dapat dua pahala, yaitu pahala atas bacaan qur’annya dan pahala atas susah payahnya membaca Al-qur’an.
Al-Qur’an pada masa awal Islam dihafal oleh para sahabat dengan mendengar dan menyaksikan langsung pembacaan nabi. Saat itu para sahabat hanya mengandalkan kemampuan menghafal ketika hendak mengaji. Hafalan menjadi awal metode pengajaran Al-Qur’an karena sangat sedikit sahabat yang bisa membaca dan menulis dengan lancar. Hingga saat perang badar, sejumlah tawanan perang telah dibebaskan oleh Nabi Muhammad, asalkan mereka mau mengajari para sahabat membaca dan menulis. Sejak saat itu muncul para penulis mushaf, dan media yang digunakan untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an berupa pelepah kurma, tulang dan kulit binatang, serta di atas batu.
Al-Qur’an pertama kali dikumpulkan pada masa khalifah Abu Bakar Asshidiq kemudian dijadikan satu buku (mushaf). Mushaf itu kemudian akhirnya disimpan oleh Sayyidah Hafsah, istri Nabi Muhammad Saw. Terobosan Khalifah Abu Bakar ini semakin mempermudah kaum muslimin untuk mampu membaca al-Qur’an secara keseluruhan. Namun, seiring berjalannya waktu dan puncaknya di era Khalifah Utsman bin Affan, banyak ditemukan mushaf al-Qur’an di beberapa tempat dengan tulisan dan huruf yang berbeda- beda, sehingga mengakibatkan perbedaan pula cara bacanya. Hal ini membuat Khalifah Utsman bin Affan menyuruh para penulis wahyu agar menulis kembali mushaf dengan huruf paten. Mushaf ini kemudian masyhur dengan sebutan mushaf Utsmani. Beliau juga memerintahkan untuk mengumpulkan dan membakar mushaf lain yang sudah terlanjur beredar dengan tulisan berbeda- beda.
Seiring berjalannya waktu, al-Qur’an mulai banyak penyempurnaan seperti pemberian i’rob, yaitu terjadi di masa tabiin (zaman setelah sahabat) oleh Abul Aswad Ad-duali (16 H-69 H). Beliau adalah ulama ahli nahwu yang masyhur dari kota Bashrah. Tanda i’rob yang beliau tulis saat itu berbentuk titik dengan warna merah, warna yang berbeda dengan warna huruf mushaf. Lalu muridnya, Nasher bin Ashim Al-laitsy (w-89 H.) menambahkan titik pada huruf atas perintah Al-hajjaj bin Yusuf, Gubernur Irak pada saat itu. Dari jasanya, kita bisa membedakan antara huruf ya’, ta’, ba’, dan tsa’. Kemudian al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (100 H- 173 H) mulai memberikan tasydid, hamzah, rum, dan isymam. Beliau juga lah yang memberikan harokat pertama kali pada mushaf dengan acuan tanda i’rob buatan Abul Aswad ad-Duali.
Selang beberapa abad setelahnya, muncullah ide pemberian tanda tajwid dengan kode warna. Al-Qur’an jenis ini muncul pertama kali di Arab Saudi, India, dan Damaskus sekitar tahun 2000-an. Awalnya hanya ada tujuh warna yang dipakai meliputi penjelasan: Ghunnah, Qolqolah, Idghom Bighunnah, Iqlab, Ikhfa’, Idghom mimi, dan Ikhfa’ Syafawi. Namun seiring berjalannya waktu, kode warna semakin banyak, bahkan ada mushaf yang sampai memiliki 12 kode warna. Al-Qur’an dengan kode warna, baru populer dan dicetak di indonesia sekitar tahun 2005.
Dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, lahirlah ide untuk membuat aplikasi al-Qur’an digital, tentunya terobosan ini menciptakan kondisi yang sangat baik bagi para pecinta al-Qur’an yang dapat dibaca kapan saja dan dimana saja. Tak berhenti sampai di situ, banyak pakar teknologi yang mencoba menciptakan alat agar penyandang disabilitas bisa membaca bahkan menghafal Al-Qur’an. Saat ini penyandang disabilitas dapat menikmati berbagai metode dan sarana. Dimulai dengan Al-Qur’an dalam huruf braille, ciri khas Al-Qur’an dalam huruf braille adalah tidak muncul satu huruf pun yang tertulis, melainkan hanya titik-titik pada setiap lembar kertas. Meskipun Al-Qur’an dalam huruf braille hanya berbentuk titik, namun tetap dianggap sebagai mushaf dan harus dihormati.
Selain Al-Qur’an untuk tunanetra, metode pembelajaran juga dikembangkan untuk tunarungu, bahkan di Taif, Arab Saudi ada kursus menghafal Al-Qur’an yang komprehensif untuk tunarungu dan tunawicara. Mereka belajar memahami dan menghafal Al-qur’an dengan bahasa isyarat.
Semua itu merupakan bukti bahwa Allah SWT benar- benar menjaga dan memelihara kitabNya. Walaupun kita mengaji Al-qur’an, entah melalui mushaf, hafalan, mp3, bahkan isyarat tidak menghalangi kita untuk terus membaca dan mengamalkan Al-qur’an.