Setiap kali kita membaca sejarah, ada sesuatu yang terkadang luput dari analisa. Sebab sejarah, bukan hanya tentang alur sebuah cerita. Salah besar jika sejarah hanya berkaitan dengan tanggal, tempat, tokoh dan alur peristiwa.
Celakanya, kurikulum pendidikan nasional sejak dasar sampai menengah sudah kadung menjadikan poin-poin itu sebagai barometer pembelajaran sejarah. Hasilnya, peserta didik yang tak punya bakat dan minat menghafal, menjadikan pelajaran sejarah musuh nomor satu ketika ujian dan waktu tidur saat jam pelajaran. Esensi utama dari sejarah sama sekali tak membekas.
Sejatinya, mempelajari sejarah adalah mengkaji bagaimana alur cerita itu bisa tercipta. Kenapa orang bisa menjadi pelaku sejarah, itu intinya.
Dalam momentum kemerdekaan yang kita peringati pada 17 Agustus tiap tahunnya, lihatlah bagaimana Bung Karno, aktor utama dari peristiwa ini, dapat menjadi pelaku sejarah yang namanya dikenang tak hanya oleh bangsa Indonesia, tapi juga bangsa-bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan diawal abad ke 20. Apa yang mendorong Pemimpin Besar Revolusi itu sangat berhasrat membebaskan bangsanya dari penjajahan? Sampai-sampai ia harus bolak-balik masuk penjara karena begitu nekatnya menyulut semangat kemerdekaan di tengah-tengah rakyat Hindia-Belanda kala itu. Dari Penjara Banceuy sampai Sukamiskin pernah ia duduki. Tak banyak yang tahu, bahwa api semangat terbesar dalam perjuangannya adalah keyakinan bahwa Allah SWT akan meridhoi dan memberi petunjuk dalam tiap langkahnya memperjuangkan kemerdekaan bangsanya dari segala jenis campur tangan asing. Ia sendiri yang menuturkan hal ini.
Tak banyak pula yang menyadari, bahwa ia adalah sosok yang sangat religius. Dalam dinginnya sel penjara, tiap pertiga malam, jika terbangun, maka beliau akan sholat malam, memohon pertolongan dari Zat yang Maha Penolong agar dipermudah jalan juangnya. Lantas ia tak bersegera melipat sajadahnya. Dibukanya Al-Qur’an. Dibacanya perlahan kitab suci itu. Disudut-sudut firman Tuhan, ia dapatkan banyak inspirasi. Sedikit yang tahu pula, periode 1938-1942 saat diasingkan ke Bengkulu, ia pernah mengajar di Sekolah Muhammadiyah. Menjadi guru agama. Mengajarkan anak didiknya tentang kebesaran Baginda Rasulullah SAW, sosok yang begitu ia kagumi. Sosok yang menginspirasinya untuk membangun masyarakat majemuk, layaknya masyarakat Madinah dengan Piagam Madinah yang mempersatukan berbagai suku,ras,dan agama. Sosok yang mendorongnya melakukan revolusi demi sebuah kemerdekaan.
Sosok Bung Karno yang mengajarkannya betapa penting menjaga tanah air dari segala makar. Disana pula ia bertemu dengan Fatmawati. Seorang muridnya. Pernah satu kali Fatmawati mendebat Soekarno diluar jam pelajaran. Menanyakan kenapa dalam Islam terdapat syariat yang mengikat. Dijawabnya dengan baik berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan hadist serta kaidah fiqh. Dalam berbagai orasi politiknya, termasuk saat Proklamasi kemerdekaan, selain menjadi pembakar semangat rakyat, ia juga mendinginkannya dengan doa yang ia pimpin langsung. Meskipun selalu ada sisi kontoversial yang dapat ditemukan dalam diri Si Bung, tapi ia tetaplah sosok yang tak mau menanggalkan semangat keislaman dalam dirinya. Walaupun berkonflik hebat dengan Buya Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi di masa menjabat sebagai Presiden, tetapi di akhir hayat, nalurinya berteriak meminta damai dengan tokoh-tokoh berparas teduh itu.
Pesan terakhir sebelum menghembuskan nafas terakhirnya adalah agar disholatkan oleh Buya Hamka. Sosok yang ia penjara akibat kejamnya gejolak politik. Buya Hamka, tanpa ada seserpih pun dendam di hati dengan ikhlas bersedia memenuhi permintaan terakhir Si Bung. Tak banyak cerita yang sampai ke kita tentang sisi keimanan dan keislaman beliau. Bahkan ke orang dan kelompok yang mengaku pengikut setia dan mengklaim bahwa Si Bung hanyalah milik mereka.
Ada banyak pelajaran berserakan dari kisah hidup Si Bung. Sejarah yang tak tersampaikan sampai ruang-ruang kelas adik kita di SD, SMP, dan SMA. Juga tak terceritakan ke sudut-sudut kantor pemerintahan, tempat para pejabat memimpin rakyat. Bahwa para pendiri bangsa menempatkan agama sebagai sumber inspirasi dan optimisme bukan sumber fatalitas dan pesimisme. Sebab, agama membahas hal-hal yang sama sekali tak dibahas oleh negara. Agama berbicara tentang kebebasan, keadilan, kesejahteraan, kedamaian. Juga berbicara tentang surga dan neraka. Berbicara pula tentang hari akhir dan segala yang terjadi sesudahnya.
Para pahlawan rela mengorbankan segala apa yang mereka punya, tidak keberatan walau harus mendekam di penjara yang sempit, pun tak mengeluh jika dibuang ke tempat terpencil dengan wabah malaria yang mematikan. Kenapa mereka tidak takut dan gentar menghadapi berbagai tantangan demi kebebasan bangsanya? Sebab mereka percaya, bahwa perjuangan demi kemerdekaan bangsa dan rakyatnya akan berbalas surga di akhirat. Sesuatu yang sama sekali tak dibahas oleh negara dan hukum politik.
Maka membenturkan antara agama dan negara adalah suatu hal absurd yang sangat tidak relevan. Sekuat apapun suatu negara ingin memisahkan diri dari nilai-nilai agama, maka percayalah, negara itu takkan dapat melakukannya.
Hari ini, ditengah krisis berkepanjangan akibat pandemi Covid-19 serta pertarungan geopolitik global, dunia membutuhkan model dan sistem politik yang baru. Sistem politik yang modern. Dengan nilai-nilai demokrasi yang menjamin hak-hak warga negara tanpa terkecuali. Dilain sisi, mampu menghasilkan kesejahteraan bagi segenap rakyat.
Tapi, sistem ini selamanya tak akan dapat memisahkan atau membenturkan agama dengan negara. Sebab agama adalah sumber inspirasi dan kekuatan dalam menghadapi segala tantangan dan krisis. Sebagaimana yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan di dorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”
Atas Rahmat Allah kita merdeka, dan Insya Allah atas Rahmat Allah pula kita dapat keluar dari krisis panjang ini.
Semoga Allah SWT selalu memberikan Inspirasi kepada kita agar dapat mewarisi negeri ini dengan sebaik-baiknya…
Image from: Freepik
Fathan Aulia Rahman
17 Agustus 2021
Akdeniz Bölgesi, Türkiye