Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan dan lawan darinya adalah monogami (Marzuki, 2005). Secara umum, poligami adalah suatu tindakan suami untuk memiliki lebih dari satu istri sah dan monogami adalah kondisi atau keadaan di mana seorang suami hanya memiliki seorang istri sah.
Pada dasarnya, perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya segala hal yang bersangkutan dengan perkawinan, sah secara hukum negara apabila sah secara hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
Dalam KUH Perdata, diberlakukan “monogami”, artinya seorang suami hanya boleh memiliki satu orang istri, diatur dalam pasal 27 KUH Perdata, “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja”. Sedangkan, dalam UU Perkawinan diberlakukan “poligami” yang diatur dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, ”Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Secara hukum, pemberlakuan UU Perkawinan lebih utama daripada KUH Perdata, sesuai dengan asas “Lex posterior derogat legi priori”, yang artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama (Nurfaqih, 2020). Dengan asas ini mengartikan poligami berdasarkan hukum negara diperbolehkan dan sesuai dengan kepercayaan agamanya masing-masing.
Dalam Islam, diberlakukan asas poligami dengan maksimal memiliki 4 istri, sesuai dengan firman Allah dalam al Qur`an surat an-Nisa (4):3;
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.
Beberapa perbedaan penafsiran para ulama terkait ayat tersebut, Muhammad Mutawalli Ali-Asya`rawi dalam tafsirnya memberikan gambaran menyeluruh dari awal ayat. Menurutnya, Allah menghendaki agar tidak menikahi seorang yatim yang dipelihara dan dirawat, disebabkan ketakutan akan terjadi kedzaliman, sehingga tawarannya ialah mencari perempuan lain selain anak tersebut. Secara umum, menurutnya poligami bukanlah perintah melainkan diperbolehkan yang dalam fiqh disebut Ibahah. Ibnu katsir dalam tafsirnya menyampaikan, menurut Imam Al-Syafi`i yang dilakukan Nabi menunjukkan dilarang untuk menikah lebih dari empat istri. Redaksi berikut tidak lantas bisa dipahami bahwa poligami hukumnya sunnah (Ade, 2019).
Untuk melangsungkan poligami tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam Hukum Negara dan Hukum Islam. Dalam UU Perkawinan diatur dalam pasal 4 dan 5, syarat utamanya ialah dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Sedangkan syarat-syarat umumnya:
- Adanya persetujuan istri/istri-istri
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Dalam Islam, syarat utamanya ialah dapat berlaku adil yang artinya dapat memenuhi segala kebutuhan istri dan anak, dapat memastikan kehidupan istri dan anak, adil dalam segala hal kehidupan berkeluarga. Akan tetapi, benarkah kita akan dapat berlaku adil? Allah S.W.T berfirman di ayat lainnya :
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (an-Nisa (4):129).
Dalam ayat tersebut, Allah mengatakan bahwa kita tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri yang kita nikahi. kata “istri-istri” di sini berbentuk jamak yang artinya lebih dari satu (poligami). Secara umum, dapat kita pahami bahwa menurut ayat ini tidak dianjurkan untuk memiliki lebih dari satu istri disebabkan ketidakmampuan untuk berlaku adil.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa poligami diperbolehkan secara hukum negara dan Islam, tetapi tidak dianjurkan, karena sulitnya dipenuhi syarat-syarat diperbolehkannya. Maka, poligami adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan oleh siapapun dalam kehidupannya.
*Penulis merupakan mahasiswa double degree, Qur`anic Science in UIN Syarif Hidayatullah Jakarta and Law Science in Dirgantara Marsekal Suryadarma University. Photo by Sora Shimazaki from Pexels